Mohon tunggu...
Ya Yat
Ya Yat Mohon Tunggu... Penulis - Blogger

Penyuka MotoGP, fans berat Valentino Rossi, sedang belajar menulis tentang banyak hal, Kompasianer of The Year 2016, bisa colek saya di twitter @daffana, IG @da_ffana, steller @daffana, FB Ya Yat, fanpage di @daffanafanpage atau email yatya46@gmail.com, blog saya yang lain di www.daffana.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Mengunjungi Saung Ranggon dan Taman Buaya bersama Click

4 Maret 2023   21:46 Diperbarui: 19 Maret 2023   17:18 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama ibu Sri Mulyati sang juru kunci (dok.yayat)

Bersyukur banget ada commuter line, yang memudahkan pergi kemana-mana. Praktis dan harga tiketnya murah pula. 

Bayangin, saya naik commuter line dari Duren Kalibata menuju Cikarang ongkosnya cuma lima ribu rupiah, seharga segelas jeruk peras pelepas dahaga di hari yang panas. Murah banget.

Karena itu commuter line jadi transportasi umum yang peminatnya membludak. Nggak ada sepinya itu commuter line. Seperti ketika saya berangkat bersama Click (Commuter Line Community Kompasiana) ke Cikarang pada Sabtu 25 Februari lalu. Penumpang penuh walau hari weekend.

Masing-masing penumpang commuter line punya urusan dan tujuan. Tujuan saya bersama teman-teman Click adalah untuk menjelajahi Cikarang. 

Ada 2 tempat yang akan kami kunjungi hari itu yaitu Saung Ranggon dan Taman Buaya. Lokasinya memang jauh dari stasiun Cikarang, namun ada mobil angkot yang membawa kami ke kedua tempat ini.

pengunjung saung ranggon berdoa di sini (dok.yayat)
pengunjung saung ranggon berdoa di sini (dok.yayat)

Saung Ranggon

Bangunan ini berbentuk rumah panggung dari kayu. Area sekitar saung dipenuhi oleh pohon-pohon besar dan tinggi. Suasananya sunyi dan adem, khas suasana perkampungan. Saung Ranggon dipagari oleh pagar besi. Suasana yang sepi menambah syahdu suasana.

Tak lama, ibu Sri Mulyati datang menghampiri kami dan mengajak kami masuk ke Saung Ranggon. Ibu Sri Mulyati adalah salah seorang anggota keluarga yang mengurus Saung Ranggon. 

Jika kita ingin masuk ke Saung Ranggon maka kita harus minta ijin ke keluarga ini dan kita akan ditemani oleh ibu Sri Mulyati atau anaknya.

Ibu Sri Mulyati menjelaskan sejarah Saung Ranggon. Saung ini didirikan di abad ke 16 sebagai tempat persembunyian anak Pangeran Jayakarta dari kejaran pasukan Belanda. Saat ini Saung Ranggon digunakan untuk menyimpan keris benda pusaka dan tempat petilasan.

Bersama ibu Sri Mulyati sang juru kunci (dok.yayat)
Bersama ibu Sri Mulyati sang juru kunci (dok.yayat)

Bangunan ini terbuat dari kayu ulin, yang belum pernah diganti sejak bangunan ini berdiri. Saya memandang ke sekitar. 

Atap bangunan berbentuk segitiga dan tinggi sekali. Kayu bangunan masih bagus tak terlihat lapuk dimakan rayap. Lantai bangunan dialasi karpet, ada tirai kain yang menjadi sekat.

Saung Ranggon banyak didatangi orang untuk berziarah dan berdoa. Tujuan doanya macam-macam, dari mulai minta naik jabatan sampai minta kesehatan. Saya juga sempat berdoa, untuk tujuan yang tentunya rahasia.

Yang menjadi tujuan pengunjung adalah sebuah kamar di dalam Saung Ranggon, tempat penyimpanan benda pusaka. Ketika masuk, saya merasa merinding. 

Hal yang wajar kita alami ketika memasuki tempat yang dianggap keramat. Namun hanya merinding saja yang saya alami. Saya tidak merasakan hal-hal lain.

buaya di taman buaya (dok.yayat)
buaya di taman buaya (dok.yayat)

Saung Ranggon menjadi cagar budaya. Sayangnya biaya perawatan belum mendapat bantuan dari pemda setempat. 

Keluarga pengelola merawat Saung Ranggon menggunakan uang sumbangan dari pengunjung yang datang. Semoga Pemda menaruh perhatian pada cagar budaya ini.

Taman Buaya Indonesia Jaya

Perjalanan kami lanjutkan menuju Taman Buaya Indonesia Jaya. Jaraknya lumayan jauh dari Saung Ranggon. Sebelum masuk ke area Taman Buaya, kami membayar tiket seharga 20 ribu per orang.

Taman Buaya lokasinya seluas 1,2 hektar. Tempat ini adalah penangkaran buaya milik perorangan. Ada 300 an buaya yang dipelihara di sini. Usianya sekitar 20 hingga 65 tahun. Buaya-buaya ini berasal dari Sumatra, Papua dan Kalimantan. Ada pula buaya putih.

lihat buaya dari dekat (dok.yayat)
lihat buaya dari dekat (dok.yayat)

Buaya ditempatkan pada kolam-kolam besar dengan pagar besi. Makanannya adalah ayam dan daging sapi. Satu ekor buaya bisa memakan 4 hingga 9 ekor ayam. 

Meski buaya-buaya ini ada di dalam kandang dan pengunjung aman melihatnya, namun saya tetap merasa ngeri melihat buaya yang luar biasa besarnya.

Sayangnya penangkaran buaya ini tidak bekerjasama denga dinas peternakan. Sehingga pengelolaannya murni mengandalkan tiket pengunjung. 

Tentu ini merepotkan karena pengunjung taman buaya sungguh sedikit. Pandemi salah satu yang menjadi penyebab sepinya pengunjung datang ke taman buaya. Saya berharap dinas terkait bisa membantu taman buaya sehingga perawatan buaya dan lokasi wisata ini lebih maksimal.

Itulah hasil jalan-jalan saya bersama Click mengunjungi Cikarang. Semoga lain waktu, saya bisa mengunjungi tempat wisata lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun