Setiap berkah dari Sang Pencipta patut disyukuri dan disambut dengan kebahagiaan. Bagi masyarakat Kepulauan Kei Maluku Tenggara, salah satu berkah itu adalah meti. Meti adalah bahasa Kepulauan Kei yang berarti air laut surut.Â
Kepulauan Kei yang dikelilingi oleh lautan ini memang punya beberapa pantai yang beberapa di antaranya landai. Air surut membuat pantai menjadi lebih luas dibandingkan ketika air pasang.
Bulan Oktober dan November adalah bulan di mana air laut surut. Laut cenderung tenang dan hanya ombak kecil yang menghampiri pantai. Cuaca cerah membuat langit di atas Kepulauan Kei biru berawan.Â
Inilah waktu yang tepat untuk jalan-jalan menikmati lembutnya pasir pantai di Kepulauan Kei. Kesempatan bagus untuk para orang tua yang biasa sibuk bekerja, membawa anak-anaknya menikmati pantai nan landai.
Ya... Kepulauan Kei terdiri dari 68 pulau, namun hanya 4 pulau yang didiami penduduknya. Jika Kepulauan Kei saja punya 68 pulau, kebayang nggak betapa banyak jumlah pulau di Indonesia?
Saya tiba di saat yang tepat. Saat cuaca sedang ramah. Sehingga perjalanan dari Jakarta, transit di Ambon, kemudian melanjutkan naik pesawat Wings Air menuju bandara Langgur, lancar tanpa kendala.Â
Sungguh saya worry kalau naik pesawat saat cuaca buruk. Nyali saya naik pesawat di cuaca buruk tak sebesar nyali para pembalap MotoGP ketika ngebut.
Festival Meti adalah festival yang rutin digelar di Kepulauan Kei. Festival ini diadakan dalam rangka merayakan air laut yang surut atau meti. Masyarakat antusias dengan festival ini karena Festival Meti menjadi kesempatan memperkenalkan wisata pantai Kepulauan Kei ke para wisatawan.Â
Kepulauan Kei memang sedang menggenjot pemasukan dari pariwisata dan ini sah saja karena alam Kepulauan Kei memang luar biasa indahnya.
Bupati Kepulauan Kei, Bapak Muhammad Thaher Hanubun bilang bahwa sudah saatnya pariwisata Kepulauan Kei lebih dikenal agar orang tahu bahwa Maluku Tenggara bisa jadi destinasi wisata favorit. Akses menuju lokasi wisata di Kepulauan Kei sudah tersedia.Â
Jalan aspal mulus sudah tersedia dan membuat saya malu karena sempat berpikir kota Langgur yang terletak di Kei Kecil adalah kota terbelakang dengan jalan yang rusak. Yang saya lihat justru aspal mulus dengan rumah bagus bercat warna-warni yang membuat kotanya semarak.
Pak Bupati mendatangi lokasi acara dengan bersepeda bersama para pejabat daerah seperti Komandan Lanud, Komandan Lan AL, pimpinan Pengadilan Negeri Kepulauan Kei, komunitas pesepeda dan lain-lain, menempuh jarak 10 kilometer. Stamina pak Bupati sungguh luar biasa meski usianya sudah 61 tahun.
Mereka menari dengan kompak, mengikuti alunan tetabuhan dan suling. Para pesepeda yang datang tergoda juga untuk ikut menari. Suasana semakin semarak.
Ibu Siti Hajir Hambau adalah salah seorang yang ikut menari. Guru PAUD ini menjelaskan bahwa untuk menari di acara ini, para remaja tak berlatih lebih dulu karena Tari Sawat memang sudah dipelajari sejak dini.Â
Semua masyarakat Kepulauan Kei mampu menarikan tarian yang diperoleh secara turun temurun. Pada acara yang lebih formal, para penari Sawat mengenakan kebaya dan baju khas Kepulauan Kei. Namun karena ini acara yang berlangsung informal, maka kostum resmi ini tidak dikenakan.
Ada beberapa wisatawan asing yang melihat tarian ini juga. Kebetulan mereka sedang menyambangi Pantai Ohoider dan melihat keramaian acara meti.
Pantai Ohoider, Pantai Landai untuk Bersantai
Setelah acara seremonial, saya baru bisa menikmati Pantai Ohoider. Pantai ini dibuka 24 jam. Tiket masuknya adalah 20 ribu untuk kendaraan roda empat dan 10 ribu untuk kendaraan roda dua. Tak ada tiket masuk untuk pengunjung jadi jika pengunjung datang jalan kaki ya silakan langsung saja berjalan-jalan di pantainya.
Jika sudah memuncak, meti akan membuat pantai jadi lebih luas karena air laut makin meninggalkan pantai. Orang sampai bisa main bola di pantai yang makin luas karena meti.
Kebersihan pantai sangat diperhatikan oleh masyarakat sekitar. Larangan membuang sampah sembarangan sebenarnya baru berupa himbauan dari pak Bupati Thaher dan belum dituangkan dalam perda. Namun himbauan saja sudah membuat masyarakat segan membuang sampah sembarangan.Â
Kesadaran mereka menjaga keindahan alam sangat tinggi. Sampah yang datang dari seberang lautan dibersihkan secara berkala. Ya... sampah kiriman memang masih menjadi masalah bagi masyarakat yang mengelola pantai ini.
Pohon rindang memenuhi pinggiran pantai. Karena itu, jika kita tak ingin berlarian di sepanjang pantai, duduk santai saja di bawah pohon-pohon besar ini dan nikmati hembusan angin laut yang menyentuh pipi.
Saya berjalan menyusuri pantai menuju tempat bangunan kayu didirikan di atas pantai. Di atas bangunan kayu warna-warni yang panjang ini ada tempat untuk pengunjung duduk dan bercengkrama.Â
Saya sempat berhenti melihat anak-anak yang ceria berenang menikmati air surut tanpa rasa takut. Anak-anak ini adalah masa depan Kepulauan Kei. Terlihat juga beberapa perahu mengayun pelan digoyang ombak di kejauhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H