Untuk meng-upload foto di IG, jangan sembarang upload tapi perhatikan nilai estetik foto tersebut. Selain itu perhatikan caption foto. Caption foto itu penting, harus memberikan informasi mengenai foto yang kita apload. Lalu jangan lupa jalin interaksi. Kalau ada yang komen ya balas komennya dan balas like juga. Masa pengen dapet like banyak tapi pelit memberi like.
Waktu pengunggahan foto juga kudu diperhatikan. Sebaiknya unggah foto di prime time, di mana orang-orang sedang aktif berselancar di IG. Buat cek kapan prime time kita, kita bisa lihat di statistik akun IG kita. Kalau saya sih prime time nya jam 11 siang sampai jam 9 malam. Maka saya akan upload foto di jam-jam tersebut. Selama ini like nya lumayan sih.
Untuk tampilan foto, mbak Ayu Diah berpesan agar kita menggunakan cahaya natural. Cahaya natural yang paling bagus adalah dengan menggunakan cahaya matahari. Bisa kita gunakan elemen pendukung seperti perlengkapan makan, meja atau kursi tapi tata agar penampilannya tidak berlebihan. Kalau mau edit foto juga jangan ekstrim, foto harus tetap terlihat natural meski diedit. Hindari upload makanan dengan warna hitam putih karena daya tarik makanan adalah di warnanya.
Setelah puas dapet ilmu dan makan siang, kami langsung meluncur ke jalan Suryakencana. Deretan pedagang di sepanjang jalan Suryakencana membuat mulut nggak sabar untuk mencoba. Pertama, kami mendatangi warung Soto Kuning pak M. Yusuf. Pak Yusuf berjualan soto kuning sejak tahun 1979. Soto Kuning ini termasuk kuliner yang melegenda. Seharinya pak Yusuf menghabiskan 60-70 kilo daging sapi.
Seporsi soto kuning dihargai 35 ribu rupiah. Saya membelinya sebungkus untuk dibawa pulang. Terlihat kuah soto yang kental karena bumbu dan santan. Daging sapi dan kikil ditambahkan ke dalam soto. Kuah soto selalu dalam keadaan mendidih, makanya rasa kuahnya segar karena santannya tidak pecah. Saat saya buka soto ini di rumah, rasanya juga masih hangat.
Kakek penjual martabak menjadi penutup kuliner saya di jalan suryakencana. Kakek ini sudah tua, berjualan martabak sejak puluhan tahun yang lalu dan selalu di tempat yang sama. Meski sudah tua tapi ia sigap melayani dan membuat martabak. Martabak dipanggang di atas arang. Inilah yang membuatnya berbeda, karena biasanya martabak dipanggang di atas kompor gas.
Kakek penjual martabak ini adalah orang yang memegang kendali atas usahanya. Ia tak pindah ke restoran meski banyak pelanggan. Tak mau mengganti arang dengan kompor gas. Tak mau menyuruh orang lain untuk membuat martabak. Dan.. ia hanya menjual 50 porsi martabak setiap harinya. Tidak lebih. Karena yang ia jual adalah kualitas dan bukan kuantitas.