Gelaran Kompasianival 2016 usai sudah namun gaungnya bagi saya pribadi mungkin akan lama hilang. Setidaknya selama saya membuka akun media sosial saya. Ucapan selamat atas terpilihnya saya sebagai Kompasianer of the year 2016 mengalir deras hingga sekarang. Sampai kapanpun ucapan itu diberikan pada saya, akan saya balas, sebagai rasa terima kasih saya kepada perhatian dan dukungan teman-teman. Sesungguhnya saya tidak pernah menyangka saya akan mendapat penghargaan tinggi seperti ini. Saat saya mengetik tulisan inipun rasanya masih mimpi.
Hari ini, tujuh tahun yang lalu saya memutuskan bergabung di Kompasiana tanpa tujuan apa-apa. Hanya ingin mencoba dunia baru yang tak pernah saya coba sebelumnya, dunia menulis. Berjalannya waktu saya menemukan teman-teman yang lebih asyik dari dunia menulis itu sendiri. Teman-teman ini menjadi penyempurna dari dunia yang baru saya masuki. Kompasiana dulu belum sebesar sekarang. Ketika digelar Kompasianival pertama, orang-orang yang datang masih bisa dikenali dengan menyebut nama akunnya. Tapi sekarang boro-boro tau akunnya, udah kenalan nama pun pas ketemu lupa lagi. Efek semakin besarnya Kompasiana dan efek penuaan dini.
Sejujurnya setiap Kompasianival digelar, ada rasa iri di diri saya ketika pengumuman voting nominasi. Nama saya nggak pernah masuk ke daftar ini. Iri itu perlu dan bukan hal yang negatif bila kita membuat rasa iri menjadi bahan bakar untuk menjadi lebih baik, seorang bijak pernah berkata seperti ini. Tapi meski iri, saya sportif kok memberi selamat pada semua pemenang yang memang saya akui bahwa mereka pantas menang. Kompasianival ke berapa yang sekarang digelar? Kompasianival keenam dan enam tahun saya datang ke kompasianival dengan rasa iri. Luar biasa bukan.
Kompasiana sungguh ngangeni menurut saya. Dulu saya sempat keluar dari Kompasiana karena marah Kompasiana error melulu tapi itu cuma bertahan beberapa hari. Saya masih mengintip Kompasiana sebagai silent reader padahal saya bilang good bye pada Kompasiana. Daya tarik tulisan-tulisan di Kompasiana membuat saya nggak tahan meninggalkannya berlama-lama. Untungnya Kompasiana selalu membuka pintunya.
Menjelang datang ke Kompasianival 2016, sebenarnya adalah puncak rasa iri saya. Kenapa? Ada kisah yang sangat koplak dan menggelikan menyangkut seorang admin Kompasiana, mas Kevin. Tahun ini saya tidak lagi berharap masuk nominasi Kompasiana Award karena tahun ini saya merasa posisi saya di Kompasiana sudah kuat --ciyeeee posisi. Fokus saya menulis soal balapan MotoGP dan Valentino Rossi membuat personal branding saya sangat kuat. Biarkan saya sombong ya, kalau nggak mau baca kesombongan saya silakan tutup postingan ini --dikeplak rame-rame. Nah branding inilah yang membuat saya merasa posisi saya di Kompasiana susah di goyang --kayak kursi panas aja yak. Kadar iri saya tahun ini menurun drastis dari 460 persen ke 4,6 persen.Â
Rasa kepo saya membuat saya bertanya kepada mas Kevin, apa sebab menyarankan hal yang nggak penting itu. Mas Kevin bilang bahwa di acara penyerahan penghargaan, saya diminta untuk menyerahkan piala penghargaan kepada seorang pemenang Kompasiana Award! Why me? Tanya saya. Ya aneh aja sih, saya bukan admin, bukan juga pengurus Kompasiana hlaa kok bisa-bisanya menyerahkan penghargaan pada pemenang? Tapi mas Kevin beralasan bahwa saya memberikan penghargaan pada pemenang mewakili kompasianer yang loyal pada Kompasiana. Whatttt... saya merasa dikeplak bolak-balik.
Tapi karena saya emang niat datang ke Kompasianival maka saya bilang saya akan tetap menunggu sampai acara berakhir demi Project Pop, dan goodie bag --teuteup. Saya menikmati sekali pertemuan saya dengan teman-teman lama yang untungnya menyempatkan hadir di Kompasianival meski mereka nggak aktif lagi menulis. Dengan Live Streaming ala kadarnya bersama Babeh Helmi dan mbak Dessy melalui Koplak Yo Band, kami berusaha memberikan informasi bagaimana ramainya acara Kompasianival meski nggak semua teman yang hadir fokus mengikuti acara bincang-bincang di panggung utama.
Saya lupa kalau ada gelar Kompasianer of The Year. Sungguh saya lupa. Maka ketika mas Yoz si host yang ngehits itu mengumumkan pemenang best in fiction yang diraih oleh mbak Fitri Manalu, saya mbatin lagi.. nggak jadi naik panggung karena piala sudah diserahkan oleh para pejabat Kompasiana. Santailah saya menunggu Project Pop. Ndilalahnya ada Kompasianer of The Year. Dan... saya nggak sempat berpikir siapakah orang yang akan meraih gelar Kompasianer of The Year 2016. Nggak sempat... karena nama dan foto saya segera terpampang di layar besar itu dan teman-teman Kompasianer heboh menjerit dan menyerbu saya.
Anda nggak akan tahu bagaimana perasaan saya. Bahkan ketika mengetik ini pun saya masih gemetar. Saya menangis saat berdiri di panggung. Karena haru... dan karena sudah dibohongi --ngacungin parang ke mas Kevin. Saat menyerahkan piagam penghargaan, Kang Pepih bilang saya pantas mendapatkannya karena konsisten. Kata-kata lainnya nggak saya dengar karena saya lemas. Kaki saya lemas karena sejak jam 09.30 pagi saya sudah wara wiri di area Kompasianival. Lemas karena capek dan shock.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H