Menurut Ricardo, arus banjir yang menghempaskan anaknya itu merupakan arus banjir bandang yang pertama, yang terjadi sekitar pukul 19.30 WIB, beberapa jam kemudian terjadi lagi banjir susulan yang arusnya lebih besar dari yang pertama.
Rumah Ricardo yang berada di samping jalan raya Medan-Kutacane, saat ini sudah tak tersisa, semuanya rata dengan tanah, karena bangunan rumahnya yang terbuat dari kayu (semi permanen) ini sudah hanyut terbawa arus banjir, bersama harta bendanya. Saat ini Ricardo bersama istri dan seorang anaknya terpaksa harus mengungsi dengan menumpang di rumah tetangganya yang tidak terdampak banjir bandang.
Perasaan duka dan trauma juga dialami Thiomida Boru Tambunan, Ia tidak berhasil menyelamatkan bibinya Erlina Boru Sitorus, hingga meninggal dunia terseret arus banjir bandang.
“Tangan bibi saya terlepas, saat saya berhasil keluar pintu rumah ketika terjebak genangan banjir bandang di rumah, yang datangnya dari dapur. Arus deras memisahkan kami berdua, saya terhempas hingga tersangkut di depan rumah tetangga, sedangkan bibi terseret arus banjir ke bawah,” tuturnya, sambil terisak-isak menyekat air matanya penuh penyesalan.
Saat itu Selasa (11/4) dari pukul 17.00 WIB hingga Rabu (12/4) dini hari, hujan deras mengguyur sejumlah desa di Kabupaten Aceh Tenggara.
“Hujan sangat deras terjadi jam 5 sampai jam 6 sore, selama saya hidup baru merasakan hujan sederas ini disertai angin yang sangat kencang. Kemudian jam 6 saya mendengar kabar bahwa di Desa Batu 200 sudah terjadi banjir bandang, semua siaga menghadapi kemungkinan banjir bandang yang bisa menghantam desa kami, pokoknya pada saat itu sangat mencekam suasananya,” tuturnya.
Semua warga desa usai mendengar desa tetangganya mengalami banjir bandang, maka mereka pun mengungsi ke tempat yang lebih aman. Namun karena bibinya sudah tua, Thiomida mengalami kesulitan mengevakuasi bibinya.
“Namboru (bibi-red) ayo kita keluar mana tau nanti makin besar hujannya,” ajak Thiomida kepada Bibinya. “Badanku sudah dingin, aku disini saja sudah tidak kuat jalan,” jawab Bibinya
Di luar rumah saat itu terdengar seruan untuk segera mengungsi dari rumah, lalu Thiomida berusaha menggendong bibinya, tapi Bibinya tidak mau digendong, terpaksa Thiomida menarik tangan bibinya, lalu memapahnya berjalan mendekati pintu depan rumah.
“Ketika saya mau sampai dekat pintu depan rumah, maka datanglah air besar dengan gemuruh yang sangat kencang masuk ke rumah, melalui pintu dapur hingga ke ruang tamu, maka air besar yang disertai lumpur dan patahan batang pohon menutup pintu depan rumah, hingga kami pun terjebak di rumah,”ungkapnya.
Air menggenangi rumah hingga kedalaman lehernya, yang terkadang wajahnya pun ikut ‘kelelep’ air banjir. Selama beberapa menit Thiomida bersama bibinya terjebak banjir di rumahnya. Di dalam rumah Thiomida terus berteriak minta tolong. Maka datanglah, Angel tetangganya.