Mohon tunggu...
Aksi Cepat Tanggap
Aksi Cepat Tanggap Mohon Tunggu... Jurnalis - Organisasi Kemanusiaan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menjadi organisasi kemanusiaan global profesional berbasis kedermawanan dan kerelawanan masyarakat global untuk mewujudkan peradaban dunia yang lebih baik http://act.id Aksi Cepat Tanggap (ACT) Foundation is a professional global humanitarian organization based on philanthropy and volunteerism to achieve better world civilization

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sinabung Masih Berkabung, Tiga Tahun Merana di Hunian Sementara

25 Mei 2016   13:32 Diperbarui: 25 Mei 2016   14:38 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KARO - Sepekan terakhir, erupsi Sinabung membubung makin deras. Gunung berapi setinggi 2.451m itu berkali-kali melontarkan material vulkaniknya mencuat dari mulut kawah. Awan panas, abu vulkanik dan kerikil terlontar deras menuruni lereng gunung. tanpa siapa pun bisa menghentikannya.

Puncaknya, Sabtu (21/5) kemarin, luncuran deras awan panas menjelajahi lereng Sinabung dengan kecepatan fantastis! Bayangkan saja 1 Km/detik guguran awan panas menerjang kawasan dalam bahaya sekitar 3 km dari puncak, seperti dikutip dari tuturan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo. Bahkan, ketinggian awan panas yang terlontar di Sabtu (21/5) lalu sampai menyentuh angka 4.500m. Menjadi salah satu episode erupsi terburuk yang pernah terlontar dari Sinabung.

Sembilan orang warga dari Desa Gamber, Kecamatan Simpang Empat menjadi korban dari letusan dahsyat Sabtu pekan lalu. Kabarnya mereka adalah warga Gamber yang nekat kembali ke desanya untuk berladang. Usaha menanam kol, memanen kopi, menilik kebun kentang memang telah menjadi rutinitas sehari-hari sebagian besar warga di sekitar lereng Sinabung.

Padahal kenyataannya sudah sejak Oktober 2014 lalu ribuan jiwa warga Desa Gamber sudah diungsikan seluruhnya tanpa terkecuali. Tak boleh sama sekali untuk dimasuki sebab letusan Sinabung bisa kapan pun terjadi dalam lingkaran zona radius berbahaya itu.

Sontak, tragedi letusan Sinabung Sabtu kemarin mengundang tanya besar, apa alasan sebagian warga di lereng Sinabung tetap nekat untuk menembus garis zona bahaya yang sudah ditetapkan? Padahal ketika erupsi menyentak, tak ada yang mampu melarikan diri lebih cepat dari kecepatan awan panas.

Mencari jawaban dari tanda tanya itu, Tim ACT Medan bergerak kembali ke Kabupaten Karo, 77 Kilometer sebelah barat Kota Medan. Mencoba untuk membingkai ulang cerita, apa yang sebenarnya menjadi dilema dari ribuan pengungsi selama tiga tahun Sinabung erupsi?

Realitas yang membuat nurani tercengang nampak begitu nyata di sepanjang jalan dari Ibukota Karo - Kota Kabanjahe, menuju kawasan lereng Sinabung. Abu vulkanik itu tersebar merata di sepanjang jalan. Menyisakan warna abu-abu kelam di atas dedaunan, di atas genting rumah, di sepanjang jalan aspal. Kasman Sembiring, Camat Namantran yang menemani tinjauan Tim ACT Medan di kawasan lereng Sinabung mengatakan, abu vulkanik sudah jadi bagian dari hidup masyarakat Sinabung selama tiga tahun erupsi.

“Selama Sinabung belum berhenti erupsi, Kami tetap hidup dengan abu. Sembilan ribu tiga ratus pengungsi dari 9 desa harus diungsikan dari Sinabung. Desa mereka jadi desa mati sekarang,” ungkap Kasman. Kecamatan Namantran yang dipimpinnya harus kehilangan 7 desa sekaligus untuk direlokasi di kamp-kamp pengungsian. Tujuh desa di Kecamatan Namantran hanya berjarak tak kurang dari 3 Km dari pucuk kawah Sinabung.

Tim ACT Medan singgah sejenak di Hunian Sementara (Huntara) Perteguhan, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Sebuah bangunan semi permanen berdinding triplek tipis yang dibentuk berupa losmen sederhana dengan aliran listrik seadanya. Huntara ini adalah kamp pengungsian yang digunakan oleh warga korban erupsi Sinabung dari dua desa, yakni Desa Berastepu dan Desa Gamber di Kecamatan Simpang Empat. Walau bentuk bangunan triplek ini nyaris tak layak, setidaknya masih lebih baik dibanding mereka ribuan jiwa yang merebahkan nasib di tenda pengungsian.

Menjelang senja berakhir, Sinabung yang kokoh mulai senyap tak terlihat di balik kegelapan. Tim ACT Medan mencoba untuk berbincang dengan sejumlah penghuni Huntara Perteguhan. Mamak Aca salah satunya. Di depan bara api yang menyala untuk menghangatkan badan dari udara dingin tepian Sinabung, Mamak Aca berkisah bahwa Ia sudah tiga tahun tinggal di Huntara Perteguhan. Setiap bulannya Ia harus membayar sejumlah 200 ribu untuk biaya sewa satu petak Huntara, berhimpit dengan petak lain yang hanya dibatasi oleh triplek tipis.

“Mau gimana lagi anakku, rumah di Desa Berastepu sudah habis tersapu awan panas. Kami belum mendapat rumah pengganti. Selama tiga tahun Mamak tinggal di sini untuk sementara, tapi nggak tahu sampai kapan,” kisah Mamak Aca kepada Kami Tim ACT Medan.

Huntara adalah solusi yang dibuat oleh sejumlah pemilik tanah yang berada di zona aman Sinabung. Para pemilik tanah membangun hunian triplek dengan biaya sewa sudah termasuk listrik. Hunian ini kemudian disewakan kepada ratusan kepala keluarga yang harus meninggalkan desanya tiga tahun lalu. Walau hanya berjarak kurang lebih 7km dari puncak Sinabung, lokasi Huntara Perteguhan jauh dari aliran erupsi, aman untuk ditinggali.

Namun jangan bayangkan kenyamanan tersedia di hunian sementara ini. Apalagi bagi mereka puluhan bahkan ratusan perempuan paruh baya yang sudah bertahun-tahun merebahkan nasibnya sebagai pengungsi erupsi Sinabung. Tanpa ada rumah, tanpa harta kecuali lipatan baju yang bisa diselamatkan.

Kami menemukan wajah-wajah depresi penuh sendu di dalam huntara ini. Tak hanya mamak-mamak perempuan saja, depresi itu pun tampak dalam banyak wajah-wajah laki-laki yang mengepulkan asap rokok di sudut Huntara. Siapa yang bisa merasa nyaman hidup sebagai pengungsi selama 3 tahun berturut-turut?

Menjelang malam, nyanyian Bahasa Karo meramaikan dinginnya udara di kaki Sinabung. Nyanyian Karo itu disenandungkan oleh Mamak Pi Dana dan Mamak Meilala. Di dalam petak huntara paling depan, Mamak Pi Dana berkidung lagu Bahasa Karo yang mengisahkan tentang derita pengungsi Sinabung. Sudah tiga tahun pula Mamak Pi Dana meninggalkan rumahnya di Desa Gamber. Tak ada rumah tak ada harta yang sempat dibawa sebelum awan panas menerjang.

“Ya begini lah anakku, di sini kalau malam Kami cuma bisa bernyanyi untuk menghilangkan sedih. Mamak tak punya televisi lagi, rindu dengan cerita-cerita di sinetron. Kalau siang kami berladang di kebun orang, dibayar per hari untuk biaya makan dan biaya anak sekolah. Mamak sudah janda bertahun-tahun. Setelah Sinabung meletus hidup makin sulit, habis semua harta Kami,” ungkap Mamak Pi Dana sembari menyesap lagi sirih yang Ia kunyah sejak tadi.

Malam itu, dari beragam cerita yang mengalir, nurani betul-betul tersentak. Kenyataannya Sinabung memang masih meletus entah sampai beberapa tahun lagi. Selama itu pula ribuan jiwa pengungsi yang harus direlokasi dari zona merah menghadapi realitas yang makin sulit. Tak ada lagi rumah layak, tak ada lagi ladang sendiri yang bisa diolah. Hidup dengan abu vulkanik, mengunyah debu Sinabung.

Penulis: Shulhan Syamsur Rijal

Data: Tim ACT Medan

http://act.id/id/whats-happening/view/2831/sinabung-masih-berkabung-tiga-tahun-merana-di-hunian-sementara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun