Huntara adalah solusi yang dibuat oleh sejumlah pemilik tanah yang berada di zona aman Sinabung. Para pemilik tanah membangun hunian triplek dengan biaya sewa sudah termasuk listrik. Hunian ini kemudian disewakan kepada ratusan kepala keluarga yang harus meninggalkan desanya tiga tahun lalu. Walau hanya berjarak kurang lebih 7km dari puncak Sinabung, lokasi Huntara Perteguhan jauh dari aliran erupsi, aman untuk ditinggali.
Namun jangan bayangkan kenyamanan tersedia di hunian sementara ini. Apalagi bagi mereka puluhan bahkan ratusan perempuan paruh baya yang sudah bertahun-tahun merebahkan nasibnya sebagai pengungsi erupsi Sinabung. Tanpa ada rumah, tanpa harta kecuali lipatan baju yang bisa diselamatkan.
Kami menemukan wajah-wajah depresi penuh sendu di dalam huntara ini. Tak hanya mamak-mamak perempuan saja, depresi itu pun tampak dalam banyak wajah-wajah laki-laki yang mengepulkan asap rokok di sudut Huntara. Siapa yang bisa merasa nyaman hidup sebagai pengungsi selama 3 tahun berturut-turut?
Menjelang malam, nyanyian Bahasa Karo meramaikan dinginnya udara di kaki Sinabung. Nyanyian Karo itu disenandungkan oleh Mamak Pi Dana dan Mamak Meilala. Di dalam petak huntara paling depan, Mamak Pi Dana berkidung lagu Bahasa Karo yang mengisahkan tentang derita pengungsi Sinabung. Sudah tiga tahun pula Mamak Pi Dana meninggalkan rumahnya di Desa Gamber. Tak ada rumah tak ada harta yang sempat dibawa sebelum awan panas menerjang.
“Ya begini lah anakku, di sini kalau malam Kami cuma bisa bernyanyi untuk menghilangkan sedih. Mamak tak punya televisi lagi, rindu dengan cerita-cerita di sinetron. Kalau siang kami berladang di kebun orang, dibayar per hari untuk biaya makan dan biaya anak sekolah. Mamak sudah janda bertahun-tahun. Setelah Sinabung meletus hidup makin sulit, habis semua harta Kami,” ungkap Mamak Pi Dana sembari menyesap lagi sirih yang Ia kunyah sejak tadi.
Malam itu, dari beragam cerita yang mengalir, nurani betul-betul tersentak. Kenyataannya Sinabung memang masih meletus entah sampai beberapa tahun lagi. Selama itu pula ribuan jiwa pengungsi yang harus direlokasi dari zona merah menghadapi realitas yang makin sulit. Tak ada lagi rumah layak, tak ada lagi ladang sendiri yang bisa diolah. Hidup dengan abu vulkanik, mengunyah debu Sinabung.
Penulis: Shulhan Syamsur Rijal
Data: Tim ACT Medan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H