Mohon tunggu...
Aksi Cepat Tanggap
Aksi Cepat Tanggap Mohon Tunggu... Jurnalis - Organisasi Kemanusiaan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menjadi organisasi kemanusiaan global profesional berbasis kedermawanan dan kerelawanan masyarakat global untuk mewujudkan peradaban dunia yang lebih baik http://act.id Aksi Cepat Tanggap (ACT) Foundation is a professional global humanitarian organization based on philanthropy and volunteerism to achieve better world civilization

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Bencana Terjadi di Meja Hijau

7 Januari 2016   09:31 Diperbarui: 7 Januari 2016   10:27 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apiko JM | Managing Editor ACTNews

“Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita”

 KETIKA gugatan Pemerintah terhadap perusahaan yang dituduh lalai dalam kasus kebakaran hutan dikalahkan hakim, sebagian dari kita alami sesak dada. Sesak dada itu berbuah nyeri ketika salah satu pertimbangan hakim adalah bahwa lahan yang terbakar masih bisa ditanami lagi. Pertimbangan yang membuat tak hanya dada sesak, namun juga hati jadi cupet, otak jadi bumpet. Kenapa harus ada logika janggal seperti itu?

Okelah, mungkin kegagalan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melawan PT. Bumi Mekar Hijau (BMH) menjadi bukti lemahnya Pemerintahan melawan swasta yang nakal. Tapi yang pasti, kasus kebakaran hutan, nyatanya bukan karena faktor alam ansich, namun juga ada unsur kejahatan atau setidaknya kelalaian. Kejahatan dalam soal ini mengandung unsur kesengajaan melakukan pembakaran dengan tujuan tertentu yang dampaknya merugikan rakyat banyak. Kelalaian berupa ketidakmampuan penanggungjawab menjaga lahan yang telah diberikan hak atasnya untuk memanfaatkannya sesuai undang-undang.

Bahwa kekalahan Pemerintah untuk menghukum pelaku kejahatan/pelanggaran pembakaran hutan sulit diterima orang awam, namun bagi masyarakat yang mengerti hukum positif Indonesia menjadi rumit dipahami. Pemerintah memang tak bisa dimenangkan hakim begitu saja, tanpa bisa, sebagai penggugat, membuktikan kesalahan tergugat. Hakim tak mau ambil resiko, menghukum pihak yang tak bersalah. Dus, Meja Hijau, dalam peradilan kita adalah medan perang atau perkelahian antara penuntut versus terdakwa, antara penggugat versus tergugat.

Sementara dalam perang atau perkelahian, etika-etika yang disepakati tak jarang diabaikan, karena sebagian berpikir “kemenangan adalah segalanya” sehingga dipakailah prinsip “al-ghayah tubarrirul washilah”, alias menghalalkan segala cara. Wajarlah, jika kasus suap-menyuap juga menjadi skandal sendiri dalam jagad hukum negeri ini.

Hakim di negeri ini, sebagian ahli menilai, memang lebih cenderung hanya jadi “corong undang-undang”. Menjalankan undang-undang tanpa rasa. Tanpa mempertimbangkan apa yang bergejolak di dada masyarakat atas sebuah kasus yang sedang ditanganinya. Inilah yang menyebabkan mengapa banyak keputusan hakim menyakiti hati rakyat.

Sebagian hakim kita takut menjalankan apa yang disebut oleh pendekar hukum kita Prof. Satjipto Rahardjo, S.H sebagai hukum progresif. Hukum progresif berbasis pada pemikiran bahwa hukum dibangun untuk melayani manusia, bukan sebaliknya. Mutu hukum juga ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Seorang hakim yang memahami hukum progresif, pasti seorang hakim yang ideologis, karena hukum yang harus ditegakkan adalah hukum yang prokeadilan dan prorakyat.

Prof. Satjipto Raharjo, S.H. menegaskan, dalam hukum progresif perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law).

Peraturan buruk tak selayaknya menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interprestasi baru. Untuk itu agar hukum dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan pelaku hukum yang kreatif menterjemahkan hukum itu dalam kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya.

Berdasarkan teori ini keadilan tak bisa secara langsung ditemukan lewat proses logis formal. Keadilan justru diperoleh lewat institusi, karenanya, argumen-argumen logis formal “dicari” sesudah keadilan ditemukan untuk membingkai secara yuridis-formal keputusan yang diyakini adil tersebut. Oleh karena itu konsep hukum progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya.

Kesimpulannya, dalam masalah penegakan hukum nasional, hakim-hakim progresif harus banyak dihadirkan. Mereka terdiri dari generasi baru profesional hukum yang memiliki visi dan filsafat yang mendasari penegakan hukum progresif. Hakim-hakim yang hanya, apalagi ngotot, jadi “corong undang-undang”, sudah saatnya dipensiundinikan. Disinilah faktor kebutuhan kedua muncul; harus kesepahaman dan kesepakatan di kalangan akademisi, intelektual, ilmuwan dan teoritisi hukum Indonesia. Tekad mewujudkan kebangunan hukum yang sepenuhnya progresif, sehingga hukum dan hakim yang prokeadilan dan prorakyat menjadi tujuan dan perjuangan bersama. Sehingga tak akan ada lagi ‘bencana hukum’ di masa depan.

Aksi Cepat Tanggap

Info Kebencanaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun