Mohon tunggu...
Mimbar Akademik
Mimbar Akademik Mohon Tunggu... Dosen - Kompas.com

Mimbar Akademik adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sebuah forum atau platform yang digunakan untuk diskusi, presentasi, dan penyebaran ide-ide akademik. Forum ini biasanya melibatkan para akademisi, peneliti, mahasiswa, dan profesional yang berkumpul untuk berbagi pengetahuan, temuan penelitian, dan pandangan mengenai topik-topik tertentu dalam bidang akademik. Mimbar akademik dapat berupa seminar, konferensi, diskusi panel, atau publikasi jurnal ilmiah. Tujuan utamanya adalah untuk memfasilitasi pertukaran informasi dan ide, serta mendorong kolaborasi dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyoal Hukum, Hak Nafkah Anak Pasca Perceraian Orang Tua

13 Juli 2024   21:48 Diperbarui: 13 Juli 2024   22:04 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yayan Sahi: Mahasiswa S2 Pasca Sarjana Universitas Negeri Gorontalo


Menurut definisi pernikahan dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan, yang telah mengalami perubahan melalui Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 (Undang-Undang Pernikahan), pernikahan adalah "ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.


Walaupun pernikahan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, kenyataannya, hubungan pernikahan di masyarakat tidak selalu dapat berjalan dengan rukun dan harmonis. Ketika pasangan suami istri tidak lagi mencapai keselarasan dan damai, terutama jika upaya untuk mendamaikan tidak mungkin atau sulit dilakukan, langkah yang seringkali diambil adalah melalui perceraian untuk mengakhiri hubungan pernikahan tersebut.


Untuk mengantisipasi hal  itu, hukum memandang perlu adanya regulasi guna memastikan hak anak ketika terjadi perselisihan antara kedua bela pihak orang tua. Pasal 26 Ayat (1) dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa orang tua memiliki kewajiban dan tanggung jawab sebagai berikut: 1) Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak, 2) Menumbuhkan dan mengembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, dan 3) Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang termuat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengatur mengenai hak dan kewajiban antara orang tua dan anak.


Lain sisi, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Pasal 45 Ayat 1, menyebutkan bahwa "kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka sebaik mungkin." Sementara Ayat 2 menegaskan bahwa "kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 berlaku sampai anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri." Kewajiban tersebut tetap berlaku terus, bahkan jika perkawinan antara keduanya mengalami putus. (Nisa, 2022).


Dari regulasi hukum ini, perceraian tidak menghapuskan tanggung jawab orang tua terhadap anak-anak mereka. Ketika terjadi perceraian, penentuan Hak Asuh Anak mengacu pada yurisprudensi, seperti yang dijelaskan dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 126 K/Pdt/2001 tanggal 28 Agustus 2003. Putusan tersebut menyatakan bahwa, "Apabila terjadi perceraian, anak yang masih di bawah umur sebaiknya ditempatkan di bawah pemeliharaan orang yang paling dekat dan akrab dengannya, yaitu ibu." Oleh karena itu, pada paper ini akan di lihat, sejauhamana hukum memberikan disposisi atas hak nafkah anak pasca percerian orang tua.


Undang-Undang Perkawinan mengharuskan orang tua untuk memberikan pendidikan dan perawatan terbaik bagi anak, dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik anak tersebut. Tanggung jawab orang tua dalam memelihara dan mendidik anak berlaku hingga anak mencapai kedewasaan atau dapat mandiri. Meskipun perkawinan orang tua berakhir akibat perceraian, kewajiban orang tua terhadap pemeliharaan dan pendidikan anak tetap berlaku.


Undang-Undang Perkawinan menegaskan perlindungan terhadap hak anak untuk tetap menerima pemeliharaan dan pendidikan dari orang tua, bahkan setelah perpisahan mereka. Kesalahan atau kelalaian orang tua dalam memenuhi tanggung jawabnya terhadap pemeliharaan dan pendidikan anak dapat menjadi dasar gugatan di Pengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan (Erzad, 2018).


Anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah menikah berada di bawah wewenang orang tua, selama wewenang tersebut tidak dicabut. Wewenang orang tua mencakup tanggung jawab ayah dan ibu dalam mendidik serta merawat anak-anak yang masih di bawah umur atau belum menikah. Hak asuh anak setelah perceraian dapat diberikan kepada baik bapak maupun ibu.


Bagi penganut agama Islam, Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun menjadi hak ibu. Sedangkan pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya. Biaya pemeliharaan menjadi tanggung jawab ayah. Penegasanakan hal itu,  Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No. 102K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975 menyatakan bahwa menurut yurisprudensi perwalian anak, ibu kandung mendapatkan prioritas, terutama untuk anak-anak yang masih kecil, kecuali jika terbukti bahwa ibu tersebut tidak pantas untuk merawat anaknya.


Artinya, Ketika terjadi perselisihan mengenai hak asuh anak, Pengadilan dapat membuat keputusan berdasarkan pertimbangan yang melibatkan keterangan dan bukti dalam persidangan, dengan memprioritaskan kepentingan anak. Meskipun kedua orang tua sudah berpisah dan hak asuh anak diberikan kepada salah satu dari mereka, kewajiban orang tua terhadap anak tetap ada. Pasal 41 huruf a Undang-Undang Perkawinan menegaskan bahwa kewajiban bapak atau ibu untuk terus merawat dan mendidik anak mereka.


Dalam situasi perceraian, biaya pemeliharaan dan pendidikan anak ditanggung oleh bapak, dan Pengadilan dapat memerintahkan ibu untuk berbagi tanggung jawab jika bapak tidak mampu membiayainya sendiri. Hak-hak anak diakui baik di tingkat nasional maupun internasional. Konvensi Hak-hak Anak (UNCRC) berlaku sebagai hukum internasional sejak 2 September 1990, dan Indonesia telah meratifikasinya. Keempat prinsip dalam UNCRC meliputi non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, serta penghargaan terhadap pendapat anak. Hak-hak anak juga dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Perlindungan Anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun