Mohon tunggu...
Yahya Ado
Yahya Ado Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Praktisi Pendidikan

Lahir di Adonara Flores - NTT. Senang belajar pada Universitas Kehidupan.. Bertemu dengannya di: www.mysury.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sekolah Merdeka, Sekolah di Mana Saja

6 Februari 2021   10:05 Diperbarui: 6 Februari 2021   17:19 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semusim sudah berlalu. Satu semester kelas sangat sunyi. Kini masuk semester genap. Sekolah seperti museum yang hanya menyimpan perangkat belajar. Lonceng sekolah tak lagi ramai berbunyi. Sunyi di kala pagi, maupun jam ketika pulang. Taka ada lagi baris-berbaris. Tak ada lagi nyanyian Indonesia Raya di Senin pagi. Semua bejalar dari rumah akibat pandemi Covid-19.

Simbolisasi sekolah seperti baju seragam, apel pagi, doa bersama dan lainnya seperti menjadi kenangan cukup lama. Sekolah kini masuk ke jaringan global, melalui dunia digital, meski masih banyak pula yang terperangkap manual.

Orangtua menjadi guru, dan guru-guru menjadi orangtua di rumah masing-masing. Susahnya kalau siswa yang orangtuanya harus kerja ke kantor atau berkebun, atau pekerjaan lainnya di luar rumah. Kasat mata terlihat, banyak anak dibiarkan bermain bebas di rumah dan lingkungan rumah mereka di jam-jam sekolah.

Kurikulum secara nasional kini mulai disederhanakan untuk masa darurat. Menyesuaikan kenormalamn baru yang 'dituntut' menjadi normal. Mengurangi mata pelajaran, memangkas jam belajar, hingga menghilangkan banyak perangkat administrasi belajar yang menyita. Kurikulum darurat yang menjawab mimpi merdeka belajar itu, kini diterima sebagai kabar baik. Termasuk penilaian karekter yang menggantikan ujian nasional yang berbiaya mahal itu.

Pendidikan berbasis digital di zaman ini memang sungguh melelahkan. Tantangan sangat berat adalah infrasturktur listrik dan juga blank spot untuk jaringan internet. Belum lagi kepemilikan gawai yang tak mendukung proses belajar siswa.

Selain itu, satu sekolah dan sekolah lain punya metode belajar yang berbeda-beda. Ada yang sekedar membagi buku. Ada yang hanya foto copy lembar kerja, dan syukur-syukur masih ada yang bisa bertemu dan berkunjung ke rumah-rumah, terutama di zona hijau dan orange.

Di pandemi ini, protokol menjaga jarak fisik pun ternyata menjauhkan hubungan emosional antar guru dan murid. Padahal belajar juga butuh interaksi hati ke hati. Butuh motivasi dan inspirasi yang mengalir saat bersua.

Jadinya, ikatan batin seorang guru yang ditiru dan digugu semakin terhambat kondisi. Anak jarang ketemu langsung dengan guru secara fisik, Guru berhubungan dengan perangkat lunak, begitu juga murid dan orangtua mereka. Sama-sama lebih dekat dengan dunia digital masing-masing.

Orangtua menjadi guru 

Pesan Ki Hajar Dewantara, setiap orang menjadi guru setiap rumah menjadi sekolah, menjadi benar-benar terjadi hari ini. Pandemik kembalikan filosofi sekolah yang sebenarnya. Tanggungjawab utama belajar anak di rumah karena waktu yang lebih banyak di rumah.

Setiap rumah menjadi sekolah, setiap orangtua itu guru. Sayangnya, kita masih terpingkal-pingkal dan bahkan saling menyalahkan. Kita belum tuntas diskusi, bahwa belajar bukan semata tanggungjawab sekolah.

Tetapi rumah dan lingkungan juga turut membentuk anak. Ada pepatah kuno anak dididik oleh satu kampung adalah sebuah kebenaran sejati. Karena anak butuh teladan dari siapa pun yang ia lihat. Di rumah, sekolah, dan lingkungan/alam sekitar.

Sayangnya, banyak orangtua semakin risau. Proses belajar anak seperti tak tuntas. Kurang stimulasi untuk melihat perkembangan pembelajaran anak. Ini karena minim alat dan cara belajar. Belajar menjadi tanpa kontrol yang baik. Kurikulum yang dibuat untuk belajar di rumah pun, belum tuntas dipahami orangtua.

Maka yang terjadi adalah kekerasan model baru di rumah kepada anak-anak. Banyak video viral yang kita saksikan di media sosial menjadi tamsil buruk dunia pendidikan kita hari ini. Karena fakta, tidak semua orangtua bisa menjadi guru.

Padahal dunia sedang menggiring kita ke masa di mana anak harus lebih banyak di rumah untuk belajar. Mau tak mau, orangtua harus disiapkan untuk bisa menjadi guru. Paling tidak serupa kita menyiapkan guru menjadi guru.

Kita butuh loncatan berpikir di ranah ini. Bagaimana pemerintah serius merancang program tentang orangtua menjadi guru. Dan tidak hanya habis di slogan orangtua menjadi guru. Paling tidak kita bisa belajar dari kelas parenting (pola asuh) untuk anak usia dini.

Sekolah yang Merdeka 

Merdeka belajar menjadi rabana baru yang ditabuh menteri Pendidikan Nadiem Makarim. Masyarakat sekolah harus merdeka. Benar-benar merasakan belajar itu harus bebas dan menyenangkan. Tanpa ada beban untuk ketuntasan secara kuantitatif, tapi harus tetap memenuhi syarat kualitatif.

Arah pendidikan nasional yang berkompas ke literasi, numerasi dan karekter pun kerap menjadi syair indah yang didengungkan. Penting memang belajar soal sains dan ilmu pengetahuan, tetapi jangan tinggalkan karekter. Karena sekolah tak hanya bisa pintarkan otak semata, tetapi juga harus buat tangan lebih kreatif, dan terutama menghasilkan budi pekerti yang mulia.

Di Indonesia, banyak sekolah yang berbasis alam atau dikenal sekolah alam telah menjadikan pilihan belajar yang merdeka sejak lama. Bahkan ada pula home schooling , atau sekolah di rumah. Mereka tidak tersekat belajar di dalam ruang kelas.

Mereka belajar di rumah, di alam bebas dan terbuka. Mereka belajar yang nyata dan bukan sekedar abstrak yang menghayal. Mereka belajar fakta kehidupan, keindahan, ilmu pengetahuan, kebersamaan, dan lebih utama mengenal dan bersyukur pada Tuhan.

Belajar memang harus merdeka. Di lingkungan yang nyaman dan menyenangkan. Karena konon 30 persen hasil belajar didapat dari settting lingkungan belajar yang menyenangkan. Ini sangat penting bagi pembelajaran era sekarang. Belajar di rumah atau mana saja haruslah menyenangkan.

Sekali lagi. Belajar yang menyenangkan tak harus tersekat di ruang kelas. Belajar bisa di rumah, dan di mana saja. Di pasar, di pantai, di kebun, di sawah, di kantor, dan di mana pun di saat anak bersama orangtua mereka di masa pandemi yang tak berkesudahan ini. Belajar dalam jaringan (daring) maupun luar jaringan (luring) menjadi pilihan pendidikan kita di era baru ini.

Sejauh ini, belum ada jaminan bagi kita untuk benar-benar kembali ke masa normal seperti dahulu. Belajar dari rumah, bisa jadi menjadi sekolah (formal) baru kita.

Oleh: Yahya Ado*
Anggota Forum Akademia NTT, Pendiri Sekolah Alam Manusak, Kupang NTT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun