Oleh:
Yahya Ado*< ?xml:namespace prefix = o ns = "urn:schemas-microsoft-com:office:office" />
Â
Â
LEMBAGA Perlindungan Anak (LPA) NTT masih mencatat
23.103Â anak dibawah usia 15 tahun
meninggalkan bangku sekolah sebagai pekerja anak di Kupang. Baik yang bekerja
di sektor privat sebagai pembantu rumah tangga, maupun di rana publik sebagai
penjual di pasar, toko dan pekerja bangunan. Dari
jumlah tersebut, sebanyak 15.333 adalah anak perempuan.
Â
Jumlah itu belum termasuk catatan LPA NTT yang
menyebutkan 1.335 anak bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK).
Â
Realitas di atas menandakan, kondisi kehidupan anak di NTT
masih sangat memprihatinkan. Isu anak belum begitu seksi di permukaan, sehingga
belum mendapat tempat prioritas pada pembangunan. Bahkan beberapa kebijakan
yang dihasilkan pun kerap mengabaikan pemenuhan dan perlindungan atas hak-hak
anak.Â
Â
Padahal negara telah
menjamin dalam pembukaan UUD 1945, semua warga negara berhak atas kehidupan
yang layak. Namun faktanya belum banyak yang merasakan, apalagi bagi anak-anak
yang tinggal nun jauh di pelosok desa.
Â
Nampaknya pembangunan di NTT belum sepenuhnya berpihak pada
kebutuhan dan pemenuhan hak-hak anak.Â
Bahkan kebutuhan dan hak-hak anak masih terus terabaikan. Kondisi inilah
menyebabkan kasus anak rentan terjadi di NTT. Pekerja anak, penjualan anak,
pemerkosaan serta kekerasan di lingkungan sekolah bahkan di rumah acap kali
terjadi seolah tanpa dosa.
Â
Â
Payung
Hukum
Â
Sebagaimana diketahui, selain UUD 1945 yang menjadi dasar
pembangunan, Indonesia juga telah turut meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA),
melalui Keputusan Presiden (Kepres) No 36 tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus
1990. Ini berarti negara telah berjanji kepada komunitas international untuk
mengakui, menghargai, melindungi dan memenuhi hak asasi bagi anak. Baik sebagai
makhluk individu ataupun makhluk sosial.
Â
Selain itu Indonesia juga telah memiliki sejumlah Undang
Undang (UU) untuk pemenuhan hak anak. Misalnya UU No
23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai aturan yang mengacu pada konsep
penjabaran KHA. Namun demikian implemnatasinya dalam pembangunan belum terlihat
secara nyata. Bahkan di NTT seperti jauh panggang dari api. Â
Â
Dilematisnya selalu ada pada faktor pemenuhan
hak atau tuntutan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Seperti dalam hal pelayanan hak
anak atas akte kelahiran. Anak-anak dan orangtuanya terbebani dengan biaya
tinggi, karena terkait dengan retribusi untuk peningkatan PAD. Akibatnya,  jumlah cakupan kepemilikan akte kelahiran
anak masih sangat rendah. Sekitar 77
persen dari 100 ribu lebih anak di NTT belum memiliki akte kelahiran (Pos
Kupang, 10/10/2011). Hal ini menambah panjang deretan pengabaian hak anak
di NTT dari tahun ke tahun.
Â
Padahal anggaran pembangunan di daerah ini terus
naik setiap tahunnya. Di tahun 2012 ini, propinsi NTT mendapat alokasi dana
dari pemerintah pusat yang tak sedikit jumlahnya. Tercatat, DIPA (Daftar
Isian Pelaksanaan Anggaran) senilai Rp 20,480 triliun. Sebuah angka fantastis yang harusnya bisa melepaskan NTT dari
berbagai jerat kemiskinan, terutama pemenuhan hak anak. Karena anak-anak adalah
pemilik masa depan propinsi ini. Â
Â
Untuk itu, paradigma pembangunan di NTT perlu
dikiblatkan pada pembangunan kesejahteraan dan perlindungan terhadap anak dan masyarakat
secara menyeluruh. Melalui strategi
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pembangunan yang partisipatif dan terintegrasi. Baik yang
dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta.
Â
Dengan demikian, hak-hak anak untuk hidup sehat,
tumbuh dan berkembang secara optimal, terlindungi dari berbagai kekerasan,
serta partisipasinya  di masyarakat dapat
terpenuhi dengan sungguh-sungguh. Semoga.Â
Â
Lahir
di Boleng Adonara-Flotim, Pekerja sosial bidang Anak**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H