Nampaknya pembangunan di NTT belum sepenuhnya berpihak pada
kebutuhan dan pemenuhan hak-hak anak.Â
Bahkan kebutuhan dan hak-hak anak masih terus terabaikan. Kondisi inilah
menyebabkan kasus anak rentan terjadi di NTT. Pekerja anak, penjualan anak,
pemerkosaan serta kekerasan di lingkungan sekolah bahkan di rumah acap kali
terjadi seolah tanpa dosa.
Â
Â
Payung
Hukum
Â
Sebagaimana diketahui, selain UUD 1945 yang menjadi dasar
pembangunan, Indonesia juga telah turut meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA),
melalui Keputusan Presiden (Kepres) No 36 tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus
1990. Ini berarti negara telah berjanji kepada komunitas international untuk
mengakui, menghargai, melindungi dan memenuhi hak asasi bagi anak. Baik sebagai
makhluk individu ataupun makhluk sosial.
Â
Selain itu Indonesia juga telah memiliki sejumlah Undang
Undang (UU) untuk pemenuhan hak anak. Misalnya UU No
23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai aturan yang mengacu pada konsep
penjabaran KHA. Namun demikian implemnatasinya dalam pembangunan belum terlihat
secara nyata. Bahkan di NTT seperti jauh panggang dari api. Â
Â
Dilematisnya selalu ada pada faktor pemenuhan
hak atau tuntutan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Seperti dalam hal pelayanan hak
anak atas akte kelahiran. Anak-anak dan orangtuanya terbebani dengan biaya
tinggi, karena terkait dengan retribusi untuk peningkatan PAD. Akibatnya,  jumlah cakupan kepemilikan akte kelahiran
anak masih sangat rendah. Sekitar 77
persen dari 100 ribu lebih anak di NTT belum memiliki akte kelahiran (Pos
Kupang, 10/10/2011). Hal ini menambah panjang deretan pengabaian hak anak
di NTT dari tahun ke tahun.
Â