#1 (Satu)
Sesosok pria itu berjalan dari kejauhan lorong, langkahnya kian mendekat seiring jarum jam yang kian menunjuk pada waktu senja. Aku duduk di sudut tangga lantai 3 yang sepi senyap, hanya ada aku dan dia. Dia, Rimba adalah kekasihku sejak duduk dibangku SMA kelas 3 hampir setiap hari kami berjumpa. Aku dan dia saling mencintai, bahkan saking terlalu cinta aku rela memberikan harga diriku sebagai wanita secara cuma-cuma. Aku memang bodoh, terhanyut dalam jalinan asmara bernama cinta buta. Hanya karena cinta aku rela memberikan segalanya. Hari ini ada kabar yang harus aku berikan padanya, kuharap dengan ini aku dan dia bisa bersatu selama-lamanya.
"Dear, masih capek ya habis kelas?" kataku menyambut kedatangannya. Rimba langsung menyalakan rokok dan berdiri didepanku, ia enggan duduk dan wajahnya suntuk.
"Sini..duduk" Aku memandangnya lembut, ia masih tak peduli.
"Sini, sebentaaar..." Aku menarik tangan Rimba untuk duduk disampingku.
Wajahnya yang tegas, menatapku sesaat. Ia lantas menatap keberbagai arah sembari menghela nafas berisi asap. Aku mengenggap tangannya erat dan kuat-kuat menatap.
"Aku hamil...Iya nih kayaknya hamil" Aku lihat Rimba langsung menatapku, matanya terpejam. Semua asap dikeluarkan dari rongga parunya. Ia menginjak rokok pada ujung sepatunya.
"Kapan? Kok bisa ya?..." Kata Rimba dengan alis sedikit mengkerut. Aku belum menjawab, hanya diam dan tertunduk. Tanganku masih merangkul lengan kirinya. Aku kemudian menyenderkan kepala pada bahu Rimba. Ditanganku sudah ada testpack (+) aku memegang sembari menganyukan benda itu dengan jemariku.
"Sabar dulu yah, nanti dipikirin... Sekarang ayo diantar pulang dulu..." Katanya dengan lembut kepadaku.
Kami kemudian melangkah menuju lokasi parkir kendaraan. Aku sebenarnya tidak cukup puas dengan jawabannya. Tapi yang aku kenal selama 4 tahun ini berhubungan Rimba memang tidak suka langsung merespon sebuah masalah dengan cepat. Ia selalu memikirkan matang-matang segala keputusan. Dalam perjalanan sempat terselip keinginanku untuk menikah dengannya. Sayang Rimba hanya membalas dingin, ia bilang bahwa semuanya butuh perencanaan, dan pasti ia memikirkan itu semua sebelum aku mengatakannya. Aku lantas diam tak banyak bicara untuk menghindari keributan.
Sesampainya ditempat kost, biasanya Rimba mengantar aku masuk kekamar. Tapi hari itu ia hanya mengantar sampai depan rumah. Bahkan ia tidak turun dari motornya. Aku juga tidak komplain kusampaikan pesan hati-hati padanya selama perjalanan pulang. Hingga tengah malam, ponselku masih sepi akan pesan darinya. Baru sekitar jam 11 malam ia memberi kabar.
Aku dan dia jadi sempat ribut, ia beralasan low battery selama bersama teman-temanya. Beruntung kekesalanku terpendam sesaat aku menginggat bahwa aku sedang hamil. Aku khawatir kalau-kalau ia akan meninggalkanku karena kesal oleh sifat curigaku. Akupun meminta maaf dan kami akhirnya berbaikan.
------------
Keesokan harinya, sepulang kuliah Rimba mengajakku untuk langsung ketempat kost. Sesampainya disana, ia memintaku untuk meminum obat pengugur kandungan. Cara meminumnya agak sulit dan ekstrim, aku diminta untuk menelan satupil, dan memasukan satu pil lagi kedalam bagian intimku.
Setelah minum obat, Ia bilang bahwa efeknya hanya seperti ketika menstruasi saja, hanya mungkin darah yang keluar lebih banyak. Akupun mengiyakan dan saat itu kami bahkan masih bisa makan dengan tenang, hingga sore harinya Rimba harus pulang karena beralasan ibunya tengah sendirian dirumah.
------------
Aliran darah mengalir dari kewanitaanku. Dengan keadaan itu aku masih berusaha mencari pembalut dan memakainya dikamar mandi. Aku melihat gumpalan-gumpalan darah keluar dari dalam, sambil menahan sakit aku menangis. Aku mencoba menelfon Rimba namun ia tak menjawabnya. 3-4 jam menahan sakit, perihnya belum luruh juga, mataku sudah tak kuat menahan kantuk namun tak bisa aku pejamkan. Hingga sekitar pukul 4 pagi aku tak sadarkan diri.
Ia memberikan perhatian dengan membuatkanku teh hangat dan roti. Aku belum bisa makan namun kuusahakan masih mampu menenggak minuman. Dosaku pasti sudah tak bisa ternilai, apa saja rasanya ingin kulakukan untuk menembusnya. Meski aku belum melihat bagaimana wujudnya tentu sesungguhnya aku sangat menyesalinya.
----------
Syukurnya pendarahanku tak lama terjadi, 2 hari berselang darah perlahan menghilang. Aku kembali beraktivitas seperti biasa, hanya saja perut dan pinggangku sering merasa kaku dan keram. Bahkan sejak kejadian itu aku tak bisa banyak berjalan. 2 minggu berlalu keadaanku yang semula sudah baikan, mulai sedikit ada gangguan. Kepalaku sering pusing dan nafsu makanku hilang. Hingga suatu saat ketika aku berjalan bersama seorang teman perutku rasanya tak karuan, sinyal dikepalaku langsung mengajakku untuk membuang isi makanan dalam kerongkongan.
Aku muntah diwastafel toilet. Sebentar kudapati diriku dengan wajah lesu didepan cermin. Temanku Puri berusaha menolongku, iapun bilang akan mengantarkan aku pulang jika memang aku tidak kuat melanjutkan kuliah. Tapi sambil berkaca-kaca kudapati perubahan pada bentuk tubuh ini.
Pinggulku terasa lebih tebal dan perut ini sedikit menonjol dan kencang ketika dipegang. Aku jadi binggung, ada apa gerangan bukankah dengan jelasku melihat proses penguguran yang kulakukan ??
Sekitar pukul 10 malam, aku yang sedang tertidur seperti merasa mimpi buruk, mimpi perutku dipukul-pukul oleh seseorang dengan sangat kencang dan aku kesakitan. Aku memeluk bagian perut dan setelah sadar , aku terbangun dan sakitnya terbawa kealam nyata. Ya Tuhan perutku perih lebih sakit dari ketika maghku kambuh, isi perutku serasa dipelintir dan perih.
Puri memelukku erat, isi otakku merangkai cara bagaimana aku bisa mengabarkan ini pada Rimba. Aku harus apa...?
"Asmara Hawa Setiap Kamis & Sabtu/Senin"
BACA CERITA SELANJUTNYA DI APLIKASI HAWA
DOWNLOAD HAWA APP SEKARANG JUGA YAAA! HAWA SAHABAT WANITA INDONESIA😍
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H