Bulan ramadhan. Bulan yang sejatinya untuk membersihkan hati dari perasaan-perasaan tidak baik, bulan suci yang lebih utama untuk memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri dengan Sang Maha Pencipta. Andai saja orang itu tak mengusik kehidupanku, tentu tidak akan ada rasa marah dan benci menyelimuti perasaanku.
Barangkali ini memang ujianku di bulan puasa kali ini. Waktu itu, hari kedua puasa, tanpa ada masalah, tiba-tiba orang itu, menghina, memaki, dan merendahkan keluargaku.
"Sekeras apapun kamu bekerja, kamu tidak akan dapat melebihi kekayaan keluargaku. Aku benci kamu! Dasar orang miskin!" Itu hanya sebagian dari kata-katanya yang menyakitkan. Awalnya aku tak peduli, tetapi karena terjadi berulang-ulang, aku merasa terganggu juga. Sebagai orang yang pernah dekat dengan keluargaku dan masih tinggal satu komplek denganku, seharusnya dia tak melakukan itu.
"Sudahlah, tak perlu kamu pikirkan, anggap saja dia sedang stres dan mengalami gejala sakit jiwa," kata Ibu menasehatiku.
"Kalau memang orang gila, aku bisa memaafkan, Bu. Tetapi ini sudah keterlaluan. Mencacimaki tanpa kutahu masalahnya," jawabku.
"Mungkin ini cobaan bagi kita, agar kamu belajar bersabar, belajar memaafkan orang lain, belajar mengendalikan diri dari rasa marah dan benci." Ibu tak henti mencoba menenangkanku.
Puasa tinggal satu hari. seorang Pak Pos mengantar surat ke rumahku. Aku tersenyum sendiri. Sudah jaman telepon dan internet, kok masih menggunakan surat.
"Dari siapa, Pak?" tanyaku.
"Nama dan alamat pengirim tidak tertera, Mbak," jawab Pak Pos.
Karena penasaran, aku segera membuka surat itu.
"Aku benci kamu. Aku benci kesuksesanmu." Dua kalimat itu ditulis berulang-ulang pada selembar kertas di dalam surat itu. Pikiranku langsung tertuju pada orang itu.
"Ini sudah benar-benar mengganggu'" gumamku.
Tanpa pikir panjang, aku segera bergegas ke rumah orang itu. lelaki setengah tua, yang selalu menyombongkan harta warisannya dan tidak pernah bekerja, tetapi suka mengganggu orang lain. Aku hampir sampai di rumah yang kutuju. Terlihat kerumunan orang disana. Sebelum aku mendekat, aku bertanya pada seorang Ibu yang melihat kerumunan itu dari kejauhan.
"Ada apa, Bu? Banyak orang berkerumun disana."
"Penghuni rumah itu mengamuk. Keluarganya hendak membawanya ke rumah sakit jiwa. Katanya dia stres karena pengangguran. Dia benci melihat orang berkarir. Dia benci melihat kesuksesan orang lain. Banyak orang sini, yang di maki-maki terutama perempuan yang berkarir, dia sangat benci karena merasa gagal dalam hidupnya. Entah benci, entah terlalu iri," cerita Ibu itu panjang lebar.
Aku terdiam. Ternyata korbannya tak hanya aku. Kini, baru aku mengerti, sifat irinya telah menyakiti dirinya sendiri hingga membuatnya gila. Sebelum lebaran tiba, sudah sepantasnya aku memaafkan orang itu. Mungkin dengan begitu, hatiku akan kembali fitri di hari yang fitrah besok.
***
NB: untuk melihat karya peserta lain silahkanmenuju akun Fiksiana Community
Silahkan bergabung di grup FB fiksiana CommunityÂ
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H