Aku tak cinta pada batu. Yang aku cinta hanya kamu. Penggalan syair lagu kulantunkan demi menghibur hatiku. Sudah beberapa kali menelepon, tak ada jawaban. Berkali pesan kukirim tetapi tak dibalas juga. Entah tidak dibaca atau langsung dihapus. Lalu aku berprasangka baik saja, mungkin dia sedang sibuk, atau barangkali sedang tidak membawa ponsel. Untuk mengurangi kegalauan, kutelepon sahabatku, karena hanya itu yang bisa kulakukan.
"Lin, Ega mendiamkan aku, dia sulit sekali dihubungi, ada apa dengan dia? Aku salah apa ya?"
"Kamu tuh kenal sudah setahun kok gak hafal sifatnya. Mungkin dia sedang ada masalah sehingga tidak mau diganggu siapapun. Belum tentu juga dia marah sama kamu. Santai aja, tidak usah dipikirin."
"Tetapi kemarin kami becanda biasa saja, seperti tak ada sesuatu yang disembunyikan. Aku heran jika dia berubah secepat itu, padahal kami tak mempunyai masalah apapun."
"Riska... Riska..., jangan berpikir macam-macam. barangkali saat tadi kamu menghubunginya dia sedang ada di kamar mandi, jadi dia tak mungkin membawa ponsel."
"Di kamar mandi sampai berjam-jam? Gak masuk akal."
"Lha siapa tahu, sengaja berendam berjam-jam supaya dakinya luntur, dan begitu menemuimu kulitnya berubah putih, hehehe..."
"Ah, kamu."
Aku menutup teleponku. Sahabatku itu paling suka nggodain aku, sesuatu yang kuanggap masalah dianggapnya hal biasa.
Aku kembali menghubungi Ega. Entah sudah berapa banyak pesan kukirimkan. Dan kembali aku harus menelan kecewa. Mungkin dia tak lagi mencintaiku. Atau cintanya yang kemarin hanya pura-pura. Dan kini dia sudah bosan dengan sandiwara yang dibuatnya sendiri. Aku tak akan marah dan bisa berlapang dada, seandainya dia mengatakan sejujurnya. Toh aku juga tidak terlalu larut dengan kasihsayangnya yang palsu itu. Aku merasa sakit hati, karena tak ada kejelasan sikap. Walau kadang menjengkelkan, tetapi sifatnya yang humoris sering membuatku kangen. Teringat perbincanganku kemarin.
"Riska, benarkah kamu mencintaiku?"
"Mengapa masih kautanyakan itu, mau bukti apa, agar kamu percaya?"
"Aku belum pernah mendengar langsung dari hatimu."
"Tapi, aku sudah mengatakan padamu. Bukankah setiap saat kubilang i love u?"
"Tapi aku belum pernah menempelkan telingaku didadamu."
"Ah, kamu modus."
Itu perbincanganku terakhir lewat telepon kemarin. Dan sebelumnya dia sudah seringkali mengatakan, hubungan apa ini, sayur tanpa garam terasa hambar. Ketika itu, aku hanya menjawab, biar saja hambar, kalau enak, nanti banyak orang yang ingin mencicipi. Waktu itu, dia hanya nyengir menampakkan muka jeleknya.
Aku merasakan, hari demi hari, Ega mulai menjauhiku. Dia jarang menelepon lebih dulu, sekedar mengirim pesan pun dia tampak malas, selalu saja beralasan sedang sibuk. Meskipun begitu, sampai dengan kemarin dia masih mau membalas. Hanya hari ini, dia benar-benar diam. Sepertinya dia sudah bosan dengan cintanya yang palsu, yang hanya mengharapkan sex, tetapi tak pernah benar-benar didapatkannya. Jika benar begitu, beruntung aku, tak menambatkan hatiku sepenuhnya.
Tiba-tiba terdengar bunyi ponselku. Kubuka, ternyata ada satu pesan. "Jangan hubungi aku lagi, aku tak lagi mencintaimu."Â Benar dugaanku, kamu memang buaya. Aku kecewa, aku marah, tetapi entah mengapa tak ada rasa benci sedikitpun. Bahkan aku masih ingin berhubungan dengannya walau sebatas persahabatan.
Jogja, 19022015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H