"Aku sudah merebut Mas Baruna dari Windri," ucap Rike lesu. Dia dan Utari sedang duduk di pinggir kebun Stroberi, sementara suami mereka tengah memetik buah merah itu di tengah perkebunan luas itu.
Beberapa kali Bagus mengedipkan satu mata dengan genit ke arah Utari hingga membuat wanita itu ingin menimpuknya. Namun senyum terbit juga di bibir Utari. Pria itu memang selalu berhasil menggoda dirinya.
Bagus memperbaiki letak caping yang menutupi kepala, dan dia terlihat menyibukkan diri kembali dengan Baruna. Keduanya tampak terlibat percakapan serius, namun diselingi gelak tawa dari mulut keduanya.
Utari masih terdiam demi mendengar penuturan Rike. Dia sudah menduga, jika Rike pasti masih menyalahkan dirinya. Tanpa sadar, sebuah senyum kecil kemudian menghias bibirnya. Benar, Rike terlalu rapuh.
"Kenapa?" tanya Utari lembut.
"Mas Bagus pasti sudah menceritakannya kepadamu. Kamu sudah tahu alasannya bukan?"
Utari menggenggam jemari kurus Rike, "Ceritalah, Mbak. Mungkin dengan berbagi beban itu kepada orang lain, perasaan Mbak Rike akan lebih baik. Anggap aku belum pernah mendengar cerita itu."
Rike tampak tersenyum lelah, "Aku bahkan sudah menyerah, Ri. Lima tahun mempertahankan rumah tangga ini, aku sudah berharap banyak. Nyatanya aku memang harus mengakui kekalahanku."
"Mbak, di dalam sebuah rumah tangga, tidak ada pihak yang menang dan kalah. Suami dan istri, semua saling melengkapi satu sama lain."
"Mas Baruna tidak pernah mencintaiku, Ri. Dia bersedia menikahiku dan tidak pernah meninggalkanku, semata karena dia takut aku akan bunuh diri. Seperti dulu. Di dalam hatinya hanya ada Windri dan anak itu."
Sebutir bening jatuh di pipi mulus wanita itu. "Aku sangat mencintai Mas Baruna. Sebelum Windri hadir, kami adalah pasangan yang saling mencintai. Namun Windri merusak semua impian indahku."