"Oh! Kalau begitu saya ikut Mas Bagus saja." Ada kekecewaan dalam nada lembut ucapan Baruna. Namun dia seperti enggan menolak.
Utari menyenggol kaki Bagus di bawah meja, hingga pria itupun menoleh sekilas kepadanya. Ada senyum tidak kentara yang dilemparkan pria itu kepada sang istri. Baik Utari maupun Bagus sangat mengerti, jika Baruna datang lebih pagi bukan karena alasan biasa.
"Ya, sudah. Kalau begitu cepat habiskan sarapan kalian. Ini sudah masuk musim hujan. Kalau kalian perginya kesiangan, takutnya nanti kehujanan di sana."
Naira mengingatkan mereka. Sebagai seorang ibu, dia sangat memahami kegalauan hati Baruna. Meski sudah lima tahun berlalu, namun sepertinya peristiwa itu masih membekas di benak pria itu. Perjalanan cinta Baruna dan Rike memang terlalu rumit, apalagi dengan Windri di tengah-tengah mereka.
Begitu selesai sarapan, Utari segera pergi ke kamar. Mereka memang memutuskan menginap di rumah itu, setelah berbaikan.
"Jadi, Windri tadi datang kemari, kan?" tanya Bagus sambil memeluk sang istri dari belakang.
Utari hanya mengangguk samar, karena lehernya sudah menjadi sasaran empuk kecupan-kecupan hangat pria itu. "Mas, nanti kita telat nyamperin mereka!"
"Biarkan. Kenapa kita tidak membuat mereka bertiga bertemu saja?"
Utari melepaskan kedua tangan Bagus. Dia memutar tubuhnya, dan terlihat makin kesal dengan senyum kecil yang menghias bibir pria itu. "Apa Mas sudah gila? Jika mereka bertiga bertemu, maka Mbak Rike akan semakin terluka!"
"Tapi suatu saat mereka akan bertemu juga, kan?"
"Setidaknya untuk saat ini, hal itu belum terjadi!"