"Sudah berapa lama, Mbak Rike menikah?" tanya Utari dengan wajah penasaran.
Wanita berparas anggun itu tampak tersenyum simpul. Satu tangannya masih mengaduk-aduk sop kacang merah di hadapannya. Sepertinya dia sudah kehilangan selera makan, begitu Utari melontarkan pertanyaan itu.
"Aku dan Mas Baruna sudah menikah lima tahun. Sayang, Tuhan masih belum memberikan kepercayaan kepadaku untuk menjadi seorang ibu."
Utari menghela napas, teringat dengan pernikahannya yang baru seumur jagung. Tiba-tiba, bayangan Windri begitu deras menghantui pikirannya. Meski Bagus sudah berkata telah menyerahkan seluruh hati hanya untuk Utari, tapi ada kebimbangan masih menghantui.
Mengingat senyum bahagia di wajah Bagus kala bersama Windri dan anaknya, seketika membuat dadanya berdesir pedih. Tapi bahkan pria itu selalu memperlakukan dirinya dengan penuh cinta.
"Sabar, Mbak. Sebagai manusia, kita tidak boleh putus asa. Apalagi Mbak Rike dan Mas Baruna masih sama-sama muda. Mungkin Tuhan sedang memberi kesempatan, agar kalian lebih lama menikmati bulan madunya."
"Ah! Kamu bisa saja!" Ada senyum mengembang di wajah Rike.
Rike berusaha menampilkan wajah ceria dan bahagia, seperti Ibu pejabat lain. Namun siapa yang tahu, jika di dalam hatinya sudah remuk redam. Nyonya Naira, dan Ibu mertuanya tampak tengah berbincang akrab. Kedua wanita itu mengetahui masa lalu pahit yang membelenggu dirinya.
"Meskipun Mbak Rike masih saudaranya Mas Bagus, tapi aku jarang liat Mbak di rumah, ya? Bahkan pas nikahan aja, aku hanya diperkenalkan dengan Mas Baruna."
"Iya, selama ini aku memang tinggal di Bandung. Waktu kamu dan Mas Bagus nikah, aku sedang sakit. Jadi, aku tidak bisa ikut. Maaf ya, karena aku tidak bisa menghadiri acara penting kalian."
"Tidak masalah, Mbak. Aku hanya berharap, agar Mbak lebih sering mampir ke sini kalau mudik."