"Bibi baru datang jam sembilan, kan? Sekarang dia pasti lagi pergi ke pasar."
"Mas Bagus, gimana kalo Mbak Puspa tiba-tiba datang?"
"Aku udah minta izin kok, kalo mau datang agak telat." Ucapan santai Bagus, sukses membuat Utari bungkam.
Dia berpegangan pada kedua bahu kokoh suaminya, membiarkan tubuhnya dipondong ke dalam kamar mereka. Windri boleh melambungkan impian setinggi langit, tapi Utari percaya jika Bagus Pandhita hanya miliknya seorang.
Begitu sampai di dalam kamar, Bagus segera membaringkan tubuh Utari di atas kasur. Dia menatap penuh minat, pada Utari yang terlihat agak jengah. Perlahan dia menjatuhkan tubuh, hingga berada di atas tubuh sang istri.
Jemari panjangnya mulai membelai helaian rambut Utari dengan kelembutan seringan kapas. Kemudian, wajahnya kian mendekat hingga deru napas teraturnya menerpa wajah Utari.
Tatapan mereka saling mengunci. Utari merasakan getaran kejut listrik itu merambahi seluruh permukaan kulit, begitu Bagus Pandhita mulai melancarkan sentuhan-sentuhan di setiap inci tubuhnya.
Segalanya terasa begitu indah dan sakral. Bagus Pandhita menyentuhnya penuh pemujaan, dan tanpa terburu-buru. Seolah waktu di sekitar mereka terhenti sejenak. Hanya ada mereka berdua, mereguk manisnya madu cinta yang sungguh bak di surga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H