"Tidak. Itu bukan tentang kita." Bagus menambahkan ketika melihat sorot keraguan di mata Utari.
"Itu sebabnya dia memanfaatkan kebaikan hati Mas Bagus." Utari kembali memasang wajah masam.
"Agni tidak memiliki Ayah."
"Lalu selama ini, Mas sudah berperan sebagai Ayah untuk anak itu. Tapi kenapa Mas tidak pernah menceritakan ini semua kepadaku? Kenapa Mas nyembunyiin hal sepenting itu dari Riri?"
"Mas tahu, kalo Mas udah salah. Selama ini Agni tinggal dengan Kakek dan Neneknya di Jakarta. Tapi beberapa hari ini, dia ikut Windri ke sini. Jadi, kemarin itu Windri ingin jalan-jalan dan mengajak Agni."
"Lalu dia meminta Mas untuk menemani mereka, seperti layaknya keluarga bahagia lain. Bahkan wanita yang aku pikir begitu berbudi, ternyata tidak memikirkan perasaan wanita lain?"
"Ri, ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Di sini dia tidak memiliki banyak teman, satu-satunya yang dekat hanya aku."
"Iya, aku tahu!" Betapa Utari ingin berteriak dengan ketidakpekaan suaminya. Bagus Pandhita terlalu baik, hingga Windri mungkin mengira dia masih memiliki harapan. Seorang kepala daerah yang super sibuk, mau menemani seorang wanita biasa jalan-jalan? Bahkan dia bukan istrinya?
Bahkan Utari yakin, Windri memiliki banyak penggemar yang siap antri mengantar ke manapun dia menginginkan. Tapi Windri memilih Bagus Pandhita, pria yang jelas-jelas telah memiliki seorang istri.
"Sebelum kita menikah, dia memang pernah mengutarakan perasaannya kepadaku. Tapi aku hanya bisa memiliki dia sebagai seorang sahabat."
"Karena dia tidak menemukan Taman itu, bukan? Jika tidak terikat dengan aturan itu, Mas pasti sudah lama menikahi Mbak Windri!" Perasaan Utari semakin teriris saja.