Bagus Pandhita berusaha meraih tubuh Utari, akan tetapi wanita itu segera menjauh. Dia tahu sudah berbuat salah. Tidak seharusnya dia main hati di belakang sang istri. Seharusnya dia meminta maaf, tapi ucapan itu terasa sulit dikeluarkan.
Bahkan dia bukan pria kemarin sore. Dia sangat mengetahui jerat yang dipasang Windri. Wanita itu masih belum menyerah, untuk mengikat hatinya. Anggap saja dia bodoh, Windri sangat pandai memanfaatkan Agni sebagai senjata.
Sialnya, ponsel Bagus ditahan oleh Windri. Wanita itu meminjam ponsel miliknya dengan alasan ponsel Windri tidak dibawa. Bagus baru menyadari, ketika mereka sudah hendak pulang.
Windri mematikan ponsel miliknya. Puluhan miscall dan pesan segera membanjir, begitu ponsel itu dihidupkan. Dia bukan hanya dibuat lupa dengan janji makan malam itu, dia bahkan lupa jika ada seorang wanita menawan yang tengah menanti di rumah.
Sekali lagi Bagus merasa begitu berdosa, kala sepasang mata yang selalu berbinar indah itu, kini bersimbah airmata. Tak diragukan lagi, jika hatinya sepenuhnya sudah menjadi milik Utari. Namun perasaan simpati yang terlalu besar di dirinya, selalu dapat dimanfaatkan oleh orang-orang terdekat.
"Apa kamu masih belum percaya sama, Mas?" tanya Bagus sedikit putus asa.
"Riri ingin sepenuhnya percaya sama Mas. Tapi ini terlalu sulit. Untuk malam ini, Mas tidur di kamar tamu aja. Riri ingin sendirian, dan janji nggak akan ngelakuin hal-hal yang dilarang agama!"
Setelah itu, Utari beranjak meninggalkan tempat duduk. Dia melangkah cepat menuju ke pintu kamar. Bagus hanya menatap nanar, begitu mendengar pintu kamar di kunci dari dalam.
Pria itu menghela napas lelah. Tidak ada yang dapat dilakukan. Karena sia-sia membujuk wanita yang sedang marah. Bagus memilih membiarkan Utari sendiri, daripada merengkuhnya ke dalam dekapan hangat.
Tidak ada yang disembunyikan dari sang istri. Hubungannya dengan Windri juga tidak istimewa. Namun terkadang kenyamanan itu memang menjebaknya. Terlebih ada sosok Agni di antara mereka. Meski bukan anaknya, Agni sudah seperti bagian dari hidup Bagus Pandhita.Â
Dan dia tidak pernah menceritakan hal itu kepada Utari.