Hujan masih mengguyur dengan deras. Utari menyeka airmata yang bergulir di pipi. Dia membersit hidung dengan tisu. Sepasang matanya sudah bengkak dan memerah karena terlalu banyak menangis. Demikian juga dengan hidungnya.
Dia meringkuk di sofa tunggal di depan jendela kamar. Sesekali petir menyambar, memperlihatkan area taman gelap di halaman. Bagus Pandhita tidak akan menganggu. Utari sangat mengetahui, pria itu akan membiarkan dirinya sampai menemukan ketenangan kembali.
Bagus Pandhita tampak terkejut dengan ucapan Utari. Pria itu menatap sang istri penuh selidik. Dengan masih mempertahankan sikap tenangnya, dia menaruh cangkir di atas meja.
"Kamu tau darimana, jika Mas baru saja pergi dengan Windri?" bahkan pria itu tampak tidak menyangkal.
"Apa sesulit itu berbicara jujur kepadaku? Aku sudah melakukan segalanya demi rumah tangga ini. Tapi apa yang sudah Mas Bagus lakukan kepadaku?" Utari tidak ingin terlihat lemah di depan pria itu. Namun tetap saja, sebutir airmata bergulir mengalir  keluar.
"Aku tidak akan meminta maaf untuk yang sudah dilakukan dengan mereka tadi." begitu enteng, seakan Utari memang berada di urutan terakhir orang yang penting di dalam hidup pria itu.
"Kenapa? Bahkan membuatkan oseng mercon yang sia-sia juga tidak memerlukan kata maaf?" Utari menatap pria itu dengan terluka.
"Aku sedikit melupakannya. Besok aku bisa memakannya untuk sarapan."
Utari sedikit membanting cangkir di atas meja. "Apa wanita itu begitu penting bagi Mas Bagus? Atau karena anak itu?"
"Riri, aku pikir kita tidak perlu membahas hal tidak penting ini. Aku lelah, dan ini sudah larut. Kita tidur dulu, besok kita akan berbicara lagi dengan kepala dingin."
"Nggak, Mas! Bagi Mas ini mungkin bukan masalah besar. Tapi aku wanita! Aku juga istri Mas! Apa Mas pernah memikirkan perasaanku ketika bersama dengan Mbak Windri?"