Mohon tunggu...
Maya Batari
Maya Batari Mohon Tunggu... Guru - Single Cool

mencintai diri sendiri dimulai dari dalam hati yang selalu berpikir positif dan bahagia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rahasia Cinta Sang Pewaris #Bab 32

17 Mei 2021   18:23 Diperbarui: 17 Mei 2021   18:30 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini terlalu sulit dipercaya.

Utari menatap nanar pada sepasang pria dan wanita, serta seorang anak lelaki berumur kira-kira lima tahun. Mereka berjalan berdampingan, sangat jelas senyum bahagia tergambar di wajah mereka. Meski sang pria mengenakan topi dan kacamata untuk menyamarkan diri, tapi Utari mengetahui persis sosok itu.

Utari urung memilih kebaya, yang rencananya ingin dibeli sebagai hadiah untuk sang Mama. Langkah kakinya menuntut keluar dari butik, dan tanpa dapat dicegah mengikuti mereka.

Dia menggigit bibir, mencoba menahan tangis yang seperti ingin membobol pertahanannya. Dada Utari berdentam sakit, menyaksikan kebersamaan itu. Apalagi ketika sang pria terlihat menggendong anak itu dengan riang.

Dadanya benar-benar ngilu. Utari duduk di salah satu kursi, yang banyak terdapat di Mall itu. Dia memang pergi sendiri, meski seorang ajudan pasti mengawasi dari jauh. Utari menarik napas panjang, hingga terngiang kembali percakapannya dengan sang suami tempo hari.

"Tumben, siang-siang begini menelpon. Ada apa?" suara lembut di seberang sana seketika menyejukkan suasana siang yang terasa begitu menyengat.

"Emang menelpon suami sendiri, nggak boleh?" Utari mulai merajuk.

Ada tawa renyah terdengar di seberang sana, "Kenapa? Kangen ya? Kamu udah makan?"

"Mas udah makan apa belum? Nanti mau makan malam di rumah apa di luar?" Utari menatap sisa nasi pecel yang baru disantap. Siang itu Bagus Pandhita sedang ada perjalanan Dinas ke salah satu desa.

"Sudah. Tadi ada nasi jagung dan urap. Ada sambel terasi juga. Terus Mas juga disuguh duren montong. Kamu mau dibawakan apa?" sekilas Utari mendengar musik pengiring pertunjukan Kuda Lumping di latar belakang.

"Nggak, usah. Riri udah makan. Yang penting Mas pulang dengan selamat. Nggak usah kegenitan di sana!"

Ada tawa renyah, yang langsung menular pada Utari. "Iya, tapi mungkin Mas pulang agak sorean. Ada beberapa dokumen yang harus dipelajari di kantor."

"Apa Riri perlu nyusul ke kantor? Kebetulan hari ini, Riri lagi nggak ada kerjaan."

"Terus yang masak buat makan malam siapa? Aku nggak mau masakan Bibi terus diakui sama kamu loh, ya."

Utari mengerucutkan bibir dengan kesal. Meski jarang masak, tapi kemampuan Utari tidak bisa dianggap remeh. Dia menyukai dapur sejak kecil. Dia juga sangat suka memasak, karena sering ditinggal Mamanya mengurus toko kue.

"Mas terlalu banget, deh!"

"Udah! Bercanda. Mas tau kalo kamu pinter masak, kok. Malam ini, Mas kepengin makan oseng mercon. Bikinin ya, sayang."

Kalau sudah seperti itu, tidak mungkin Utari akan mempertahankan kekesalannya, "Tapi janji nanti pulangnya tidak boleh melebihi bakda Maghrib."

"Iya, Insya Allah."

Namun hingga jam tujuh malam, Bagus belum juga pulang. Oseng mercon yang dimasak sepenuh hati, pun sudah dingin. Utari berjalan mondar mandir, dan sesekali mengintip ke halaman. Berharap suaminya segera datang.

Beberapa kali dia menelpon dan mengirim pesan, akan tetapi tidak satupun dibalas oleh Bagus Pandhita. Karena otaknya sudah seperti ingin meledak, maka Utari memutuskan untuk menyegarkan diri sejenak.

Dia pergi ke Mall sekaligus belanja untuk hadian pernikahan sang Mama. Namun apa yang ditemukan di sana, membuat hatinya begitu sakit. Bagus Pandhita sudah berjanji akan makan malam di rumah, tapi kenyataannya dia sedang menemani Windri.

Lalu anak lelaki berumur sekitar lima tahun itu. Entah mengapa, Utari sangat meyakini jika anak itu adalah anak Windri. Mereka begitu akrab, seperti keluarga sesungguhnya.

"Kamu belum tidur, Ri?" Bagus Pandhita akhirnya pulang, ketika jarum jam di dinding menunjuk angka 10 malam. Utari masih membuka mata, hanya saja tidak fokus pada tayangan televisi di depannya.

"Lembur, Mas? Tumben jam segini baru pulang?" Utari mencoba menyembunyikan nada pedih di suaranya.

"Maaf ya, tadi ponsel Mas ketinggalan di kantor. Jadi, Mas nggak bisa menghubungi kamu." Bagus Pandhita mengecup ubun-ubun Utari sebelum melangkah memasuki kamar.

"Mas mau aku buatin teh hangat?" seru Utari begitu pintu kamar akan ditutup.

"Boleh. Terima kasih, ya."

Hampir seperti robot, Utari berjalan dengan mata menerawang menuju ke dapur. Dia mengambil satu kantong teh celup dari dalam rak, untuk kemudian diseduh di dalam sebuah teko dari porselen.

Tangannya yang sedikit gemetar, mengambil sepasang cangkir besar. Dia menuangkan satu sendok gula pasir ke cangkir milik suaminya. Pria itu tidak terlalu suka teh yang terlalu manis. Katanya jika terlalu banyak ditambah gula, rasa asli tehnya tidak begitu terasa lagi.

Tapi Utari menyukai minuman manis. Dia menuangkan tiga sendok penuh gula pasir ke dalam cangkir miliknya. Kemudian dia menuangkan air yang sudah berwarna kecoklatan itu. Aroma harum dari percampuran daun teh dan bunga melati, sejenak seperti aromaterapi.

Utari meletakkan kedua cangkir itu di atas nampan, sebelum membawanya ke ruang tengah. Aroma mint segar bercampur dengan harum sabun, menyeruak menyapa hidung Utari. Dia melihat suaminya sudah duduk di sofa, dengan mengenakan kaos putih dan sarung.

"Diminum Mas, selagi anget." Utari menyodorkan cangkir itu ke arah Bagus Pandhita.

"Terima kasih, sayang." pria itu menerimanya dengan senyum manis mengembang di bibir.

"Bagaimana kerjaan hari ini, lancar?"

Bagus Pandhita tersedak minumannya, sebelum dia kembali dapat menguasai diri. "Semua masih terkendali. Namun memang ada beberapa dokumen yang memerlukan perhatian khusus. Ada beberapa investor dari Korea yang ingin membuka usaha di Kabupaten kita. Aku perlu banyak waktu untuk menimbang untung ruginya bagi kesejahteraan masyarakat."

"Kalo gitu, mestinya Mas ngasih kabar kalo mau lembur. Aku kan bisa nyuruh orang buat nganterin oseng merconnya ke kantor!" Utari tak bisa lagi menyembunyikan kekecewaan yang seolah hendak meledak saat itu juga.

Ternyata demi Windri, suaminya sudah berani berbohong sedemikian rupa.

"Kamu jadi bikin? Aku pikir kamu hanya bercanda pas bertanya tentang hal itu. Biasanya kamu juga masak apapun, pasti akan aku makan." Bahkan Utari tidak mendengar nada menyesal sedikitpun dari ucapan Bagus Pandhita.

"Mas pikir aku hanya bercanda? Coba katakan kepadaku, bagian mana yang menunjukkan aku bercanda?"

"Ri---"

"Apa memberiku satu pesan atau menelpon satu menit saja, itu sudah sangat menganggu pekerjaan Mas yang katanya teramat maha penting itu? Seenggaknya tengok ponsel Mas Bagus, liat berapa panggilan dariku. Juga berapa pesan yang aku kirim buat Mas, demi mendengar satu kata saja! Mas emang keterlaluan!"

"Tadi ponsel Mas ketinggalan di meja."

"Ketinggalan atau emang sengaja di tinggal? Kalo emang Mas ingin berduaan dengan Mbak Windri, Mas nggak perlu bermain di belakangku! Selama ini, Riri emang nggak pernah ada artinya di mata Mas Bagus bukan? Jika bukan karena Riri yang tersesat waktu itu, nggak mungkin kita menikah! Nggak mungkin juga kisah cinta Mas Bagus dan Mbak Windri berakhir menyedihkan seperti ini!"

"Ri, kamu udah salah paham!"

"Cukup, Mas! Semua udah jelas sekarang! Demi Tuhan, Mas udah berani bohong demi wanita itu. Lalu Mas nganggep Riri ini apa?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun