Lalu anak lelaki berumur sekitar lima tahun itu. Entah mengapa, Utari sangat meyakini jika anak itu adalah anak Windri. Mereka begitu akrab, seperti keluarga sesungguhnya.
"Kamu belum tidur, Ri?" Bagus Pandhita akhirnya pulang, ketika jarum jam di dinding menunjuk angka 10 malam. Utari masih membuka mata, hanya saja tidak fokus pada tayangan televisi di depannya.
"Lembur, Mas? Tumben jam segini baru pulang?" Utari mencoba menyembunyikan nada pedih di suaranya.
"Maaf ya, tadi ponsel Mas ketinggalan di kantor. Jadi, Mas nggak bisa menghubungi kamu." Bagus Pandhita mengecup ubun-ubun Utari sebelum melangkah memasuki kamar.
"Mas mau aku buatin teh hangat?" seru Utari begitu pintu kamar akan ditutup.
"Boleh. Terima kasih, ya."
Hampir seperti robot, Utari berjalan dengan mata menerawang menuju ke dapur. Dia mengambil satu kantong teh celup dari dalam rak, untuk kemudian diseduh di dalam sebuah teko dari porselen.
Tangannya yang sedikit gemetar, mengambil sepasang cangkir besar. Dia menuangkan satu sendok gula pasir ke cangkir milik suaminya. Pria itu tidak terlalu suka teh yang terlalu manis. Katanya jika terlalu banyak ditambah gula, rasa asli tehnya tidak begitu terasa lagi.
Tapi Utari menyukai minuman manis. Dia menuangkan tiga sendok penuh gula pasir ke dalam cangkir miliknya. Kemudian dia menuangkan air yang sudah berwarna kecoklatan itu. Aroma harum dari percampuran daun teh dan bunga melati, sejenak seperti aromaterapi.
Utari meletakkan kedua cangkir itu di atas nampan, sebelum membawanya ke ruang tengah. Aroma mint segar bercampur dengan harum sabun, menyeruak menyapa hidung Utari. Dia melihat suaminya sudah duduk di sofa, dengan mengenakan kaos putih dan sarung.
"Diminum Mas, selagi anget." Utari menyodorkan cangkir itu ke arah Bagus Pandhita.