"Terima kasih, sayang." pria itu menerimanya dengan senyum manis mengembang di bibir.
"Bagaimana kerjaan hari ini, lancar?"
Bagus Pandhita tersedak minumannya, sebelum dia kembali dapat menguasai diri. "Semua masih terkendali. Namun memang ada beberapa dokumen yang memerlukan perhatian khusus. Ada beberapa investor dari Korea yang ingin membuka usaha di Kabupaten kita. Aku perlu banyak waktu untuk menimbang untung ruginya bagi kesejahteraan masyarakat."
"Kalo gitu, mestinya Mas ngasih kabar kalo mau lembur. Aku kan bisa nyuruh orang buat nganterin oseng merconnya ke kantor!" Utari tak bisa lagi menyembunyikan kekecewaan yang seolah hendak meledak saat itu juga.
Ternyata demi Windri, suaminya sudah berani berbohong sedemikian rupa.
"Kamu jadi bikin? Aku pikir kamu hanya bercanda pas bertanya tentang hal itu. Biasanya kamu juga masak apapun, pasti akan aku makan." Bahkan Utari tidak mendengar nada menyesal sedikitpun dari ucapan Bagus Pandhita.
"Mas pikir aku hanya bercanda? Coba katakan kepadaku, bagian mana yang menunjukkan aku bercanda?"
"Ri---"
"Apa memberiku satu pesan atau menelpon satu menit saja, itu sudah sangat menganggu pekerjaan Mas yang katanya teramat maha penting itu? Seenggaknya tengok ponsel Mas Bagus, liat berapa panggilan dariku. Juga berapa pesan yang aku kirim buat Mas, demi mendengar satu kata saja! Mas emang keterlaluan!"
"Tadi ponsel Mas ketinggalan di meja."
"Ketinggalan atau emang sengaja di tinggal? Kalo emang Mas ingin berduaan dengan Mbak Windri, Mas nggak perlu bermain di belakangku! Selama ini, Riri emang nggak pernah ada artinya di mata Mas Bagus bukan? Jika bukan karena Riri yang tersesat waktu itu, nggak mungkin kita menikah! Nggak mungkin juga kisah cinta Mas Bagus dan Mbak Windri berakhir menyedihkan seperti ini!"