Ada tawa renyah, yang langsung menular pada Utari. "Iya, tapi mungkin Mas pulang agak sorean. Ada beberapa dokumen yang harus dipelajari di kantor."
"Apa Riri perlu nyusul ke kantor? Kebetulan hari ini, Riri lagi nggak ada kerjaan."
"Terus yang masak buat makan malam siapa? Aku nggak mau masakan Bibi terus diakui sama kamu loh, ya."
Utari mengerucutkan bibir dengan kesal. Meski jarang masak, tapi kemampuan Utari tidak bisa dianggap remeh. Dia menyukai dapur sejak kecil. Dia juga sangat suka memasak, karena sering ditinggal Mamanya mengurus toko kue.
"Mas terlalu banget, deh!"
"Udah! Bercanda. Mas tau kalo kamu pinter masak, kok. Malam ini, Mas kepengin makan oseng mercon. Bikinin ya, sayang."
Kalau sudah seperti itu, tidak mungkin Utari akan mempertahankan kekesalannya, "Tapi janji nanti pulangnya tidak boleh melebihi bakda Maghrib."
"Iya, Insya Allah."
Namun hingga jam tujuh malam, Bagus belum juga pulang. Oseng mercon yang dimasak sepenuh hati, pun sudah dingin. Utari berjalan mondar mandir, dan sesekali mengintip ke halaman. Berharap suaminya segera datang.
Beberapa kali dia menelpon dan mengirim pesan, akan tetapi tidak satupun dibalas oleh Bagus Pandhita. Karena otaknya sudah seperti ingin meledak, maka Utari memutuskan untuk menyegarkan diri sejenak.
Dia pergi ke Mall sekaligus belanja untuk hadian pernikahan sang Mama. Namun apa yang ditemukan di sana, membuat hatinya begitu sakit. Bagus Pandhita sudah berjanji akan makan malam di rumah, tapi kenyataannya dia sedang menemani Windri.