Bagus memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana jeans hitam yang dikenakan. Pria itu memang terlihat berkali lipat lebih muda dengan penampilan trendi seperti sekarang. Kaos pendek pas badan v-neck ditutup dengan jaket berwarna hitam juga. Tubuhnya yang proposional terlihat kian menggiurkan, seakan lemak enggan hinggap di sana.
"Sudah puas memandangnya?" Bagus menyeringai hingga membuat Utari gelagapan. Dia berusaha berpaling untuk menyembunyikan pipinya yang sudah merona merah.
"Ge-er banget!"
"Kamu harus sabar jika ingin melihat semua bagian tubuh saya tanpa atribut apapun. Atau kamu ingin kita mencobanya dulu, kebetulan tidak jauh dari sini ada hotel keluarga."
"Jangan bicara macam-macam! Saya hanya sedang berpikir, ternyata selera berbusana Bapak lumayan juga."
"Ya? Boleh aku tahu apa maksudmu?"
"Ehm, menyukai merk terkenal juga rupanya."
"Apa kamu meragukan penghasilanku? Aku orang yang suka membeli barang berkualitas, dan nyaman dipakai tentunya."
Untuk pertama kalinya, Bagus merasa bukan seperti dirinya sendiri. Seharusnya dia tidak terpancing dengan pembicaraan tidak penting seperti itu.
"Aku---" Utari berteriak panik, ketika benda itu tiba-tiba berguncang keras. Lampu juga perlahan-lahan padam, hingga suasana di dalam menjadi hanya remang-remang.
"Apa---apa yang terjadi?" tubuh Utari mulai gemetar. Dua tangannya berpegangan erat pada lengan Bagus Pandhita.