Tiba-tiba ada rasa enggan menyeruak di dada Utari, menyaksikan interaksi keduanya. Dia ingin tetap di sana, memegang salah satu alat. Dia ingin berada di sisi pria itu, agar Bagus Pandhita selalu dalam pengawasan matanya.
"Bu Puspa, apa boleh saya tetap di sini?"
Puspa Ayu yang sudah hendak melangkah, langsung berhenti begitu saja, "Kenapa? Tidak sopan mengabaikan panggilan Ibu!"
"I---iya, Bu." Utari tidak dapat lagi mengelak. Akhirnya mereka berjalan beriringan menuju ke dalam rumah. Setelah berada di dapur, ternyata Naira sedang sibuk menata aneka jajan pasar di atas piring dibantu beberapa orang.
"Waah, akhirnya kalian datang. Tolong bantu Ibu menyiapkan camilan untuk mereka, ya. Nanti cah ayu juga harus belajar memainkan salah satu gamelan itu." Naira berceloteh riang, tanpa mengetahui jika Puspa Ayu langsung menatap Utari dengan sorot tidak suka.
"Iya, Bu." sahut Utari cepat. Dia yakin ibu Bagus melupakan kesepakatan mereka. Utari berdoa dalam hati, semoga Puspa Ayu tidak curiga. Sebutan 'cah ayu' kepada dirinya sudah menandakan satu hal, bahwa ini bukan kali pertama dia menginjakkan kaki di rumah ini.
"Nak Puspa, Ibu dengar Nak Windri mau diambil Ki Mantep sebagai salah satu waranggana tetap, ya." Naira menyodorkan sepiring nagasari untuk diletakkan Utari di atas nampan.
"Saya dengar memang begitu."
"Beruntung sekali ya, dia. Pasti kita akan merindukan mendengarkan suaranya. Ibu sudah terbiasa mendengar suara merdunya seperti sekarang ini. Apa Mas Bagus sudah mencari pengganti Windri?"
"Sepertinya belum, Bu. Akhir-akhir ini jadwal Bapak, kan padat merayap."
"Kapan anak itu memikirkan dirinya sendiri? Ibu sudah tidak sabar melihatnya menikah dan memberi Ibu seorang cucu yang lucu." Naira melirik pada Utari yang berpura-pura menyibukkan diri dengan memperbaiki letak nampan, yang sesungguhnya sudah benar.