Jika ada tempat terakhir yang ingin didatangi, maka Utari akan memilih rumah kediaman Rekshananta. Hari minggu yang salah. Utari menyebutnya demikian, karena dia berpikir tidak seharusnya dia datang ke sana. Dia merasa sangat tidak nyaman, meski dirinya mencoba untuk membaur dengan orang lain.
"Sejak kapan kamu menyukai karawitan?" Puspa bertanya dengan wajah datar.
Utari pura-pura tidak mendengar pertanyaan itu. Inderanya sedang tertuju pada bunyi gamelan yang mendayu indah, dengan suara merdu Windri Asih sebagai latar belakang.
"Sejak lama, hanya saja saya tidak pernah tahu jika di sini juga ada latihan rutin seperti ini." Utari menatap Bagus Pandhita yang tengah menabuh Kendang dengan lihai.
"Yakin tadi ketemu Bapak di jalan, dan disuruh mampir ke sini?"
"Iya, Bu Puspa." Utari mengumpat di dalam hati, sebelum meneguk jus jeruk dingin di gelasnya. Mereka duduk lesehan di lantai Pendopo, sementara para seniman sedang sibuk berlatih memainkan alat musik gamelan.
Karena kondisi pertunangan Utari dan Bagus Pandhita yang masih dirahasiakan, maka sebisa mungkin Utari mencari alasan yang paling tepat. Bagus Pandhita memang suka melakukan lari pagi setiap hari Minggu, dan mereka memang sudah janjian bertemu di Alun-alun.
"Nak Puspa, Nak Riri, di suruh bantu Ibu di belakang." Bik Minah datang ketika Puspa masih menatap Utari penuh selidik.
Puspa Ayu juga sepertinya rajin menyambangi rumah Bagus Pandhita meski di hari Minggu. Utari sangat yakin, jika Puspa Ayu belum memiliki kekasih. Puspa Ayu juga berpenampilan tidak seperti biasa. Wanita itu mengenakan tunik tiga perempat bermotif sulaman bunga berwarna biru cerah yang dipadu dengan celana jeans berwarna senada. Sementara rambut sebahunya diikat ekor kuda.
Puspa Ayu tampak lebih muda dan segar, terlebih dengan polesan riasan sederhana yang menghias wajah cantiknya. Dia terlihat sebagai wanita dewasa yang anggun dan memang cocok untuk Bagus Pandhita.
"Iya, Bi. Kita ke sana," sahut Puspa cepat. Dia kemudian menyuruh Utari mengikutinya, sementara ekor mata gadis itu mengawasi Windri sejenak. Tatapan mata wanita itu tidak pernah lepas dari sosok Bagus Pandhita yang duduk di depannya. Bahkan lagu Asmarandana yang mengalun di udara, seakan ditujukan hanya kepada pria itu.