"Maaf ya, Bu. Saya baru bisa berkunjung sekarang. Ini kebetulan Mama menyuruh saya untuk mengantarkan kue," kata Utari masih malu-malu.
"Jadi kalau Jeng Rika tidak nyuruh kamu nganter kue, kamu nggak akan datang ke sini?" Naira menyerahkan keranjang berisi kue itu kepada wanita yang bersamanya, "Mbok, tolong suruh Minah siapin teh untuk kita, ya."
Wanita itu mengangguk sebelum masuk kembali ke dalam rumah. Sementara Utari berdiri dengan perasaan tidak enak, "Maksud saya bukan begitu, Bu. Terus terang saya masih agak tidak enak."
Naira meraih lengan Utari, kemudian menggandengnya ke sebuah kursi risban yang diletakkan di tengah pendopo, "Sebentar lagi kamu akan menjadi menantu keluarga ini, jadi tidak ada alasan untuk kamu merasa tidak enak."
Utari membiarkan jemarinya digenggam oleh Naira. Untung saja tadi dia ingat untuk memakai cincin pemberian Bagus. Meski mereka sudah akrab di dalam telepon, namun bertemu langsung seperti itu sungguh terasa berbeda bagi Utari.
"Kalau kamu ada masalah apapun, kamu boleh berbicara pada Ibu. Mungkin keputusan Bagus memang terlalu cepat, tapi kamu harus memakluminya. Usia Bagus tidak muda lagi, dan dia juga harus secepatnya mengisi posisi pendamping selama dia menjabat."
"Saya sangat mengerti, Bu." Entah mengapa mendengar ucapan Naira yang lembut, membuat hati Utari menjadi tenang. Meski sudah berumur, namun gurat kecantikan masih tergambar jelas di wajah Naira. Selain itu, wanita itu juga terlihat sangat tulus dan tidak menganggap rendah dirinya yang hanya dari keluarga biasa.
"Dulu Ibu justru lebih muda dari kamu, waktu bertemu dengan almarhum Ayah Bagus."
"Benarkah?"
Naira menggenggam tangan Utari dengan hangat, ketika teh dan aneka kue kecil di hidangkan di atas meja, "Ibu masih kuliah semester dua ketika bertemu dengan Kangmas Bayu."
Mata Naira menerawang seperti teringat akan masa lalu, "Ketika itu Ibu ikut menjelajah hutan, karena fakultas mengadakan penelitian beberapa hari di sana. Perkemahan kami tidak jauh letaknya dengan perkemahan itu. Waktu itu Ibu sangat bersemangat, hingga tanpa sadar keluar dari jalur yang biasa. Ibu tersesat di hutan, namun menemukan taman indah itu. Kangmas Bayu membolehkanku untuk tinggal beberapa lama, dan berjanji akan mengantarkanku ke rombongan."