Mohon tunggu...
Maya Batari
Maya Batari Mohon Tunggu... Guru - Single Cool

mencintai diri sendiri dimulai dari dalam hati yang selalu berpikir positif dan bahagia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rahasia Cinta Sang Pewaris #Bab 10

9 April 2021   03:51 Diperbarui: 9 April 2021   03:51 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jadi, pernikahan kita hanya beda satu minggu, ya Mbak. Aku nggak nyangka loh, kalo kita nikahnya bakal barengan."

Utari memaksa sebuah senyum tersungging di bibirnya. Dia melirik sebal pada pria tampan berbaju batik yang berdiri di sampingnya. Seharusnya ini hanyalah pesta pertunangan Dian, bukan pertunangan dirinya juga.

Namun siapa sangka, jika Aryo adalah keponakan Bagus Pandhita. Dengan semua koneksi yang dimiliki, mudah saja bagi pria itu untuk menyelidiki latar belakang keluarga Utari. Pria itu sangat tahu, jika Om Baskoro adalah satu-satunya wali bagi Utari setelah ayahnya meninggal.

Bagus datang dengan membawa seluruh keluarga besar Rekshananta. Selain untuk melamar Dian, mereka juga datang untuk melamar Utari. Baskoro sudah tahu mengenai rencana itu, namun merahasiakannya kepada Rika. Katanya dia ingin membuat kejutan untuk keluarga, selain alasan agar Utari tidak bisa menampik.

Gadis itu memang tidak bisa menolak. Selain akan mempermalukan keluarga, dia tidak tega dengan kebahagiaan yang terpancar pada wajah sang Mama. Sejak awal, perasaannya memang sudah tidak enak. Terlebih ketika tiba-tiba Bagus Pandhita menghubunginya.

Utari sangat terkejut ketika mendapati jika Bagus Pandhita berada di tengah rombongan tamu. Dia bahkan serasa hampir pingsan, ketika lamaran itu kemudian ditujukan kepadanya.

"Kita harus bicara!" kata Utari ketika para tamu sudah sibuk dengan hidangan yang disediakan.

"Baiklah, di sini?" tanya Bagus Pandhita kalem.

"Tidak, ikut aku!"

Pria itu tersenyum ketika tanpa sadar Utari sudah menanggalkan sikap resminya. Bagus Pandhita mengikuti langkah kaki gadis itu, melewati teras samping hingga tiba di pinggir kolam renang belakang rumah.

"Sebenarnya apa maksud dari semua ini, Pak? Saya bisa gila dengan semua yang Bapak lakukan!" teriak Utari sambil bersedekap. Sepasang matanya yang menyala menatap garang pada sosok pria itu, yang masih berdiri dengan tenang.

"Saya serius ingin menjadikan kamu istriku. Maka dari itu, saya datang untuk melamar dengan cara yang benar kepada Om kamu."

"Tapi Bapak tidak pernah bertanya, apakah saya mau menerima atau tidak!"

"Buktinya kamu tidak menolak, kan?"

Utari menghentakkan kakinya dengan kesal, "Bagaimana saya bisa menolak, kalau semua orang tidak mau menerima kata tidak!"

Bagus berjalan mendekat, hingga bau harum dari parfum pria itu menggoda indra Utari. Gadis itu masih bergeming, tidak mau bergerak sedikitpun dari tempatnya berdiri. Bagus Pandhita mengulurkan salah satu tangan, hingga Utari mendongakkan kepala. Pria itu begitu jangkung, hingga Utari meyadari jika tingginya hanya sebatas dada pria itu.

"Kamu tidak percaya kepadaku?" Bagus menatap Utari yang masih belum juga menerima uluran tangannya.

"Bagaimana saya bisa percaya, jika semua demikian cepat menghantam hidupku yang semula tenang dan damai?"

Pria itu mengurai tangan Utari, dan membawa tangan kiri yang berisi cincin pertunangan bertaut dengan tangannya. Cincin emas dengan hiasan permata sebesar biji kelengkeng itu berkilau diterpa sinar lampu. Cincin itu terlihat indah dan mengagumkan di jari lentik Utari.

"Mungkin ini terlalu cepat, bahkan bagiku juga. Aku tidak pernah berpikir akan menikahi seorang gadis belia sepertimu. Aku bahkan sempat berharap, wanita seperti Puspa Ayu saja yang akan mendampingi hidupku."

"Kalau begitu, kenapa tidak dia saja?" Utari tiba-tiba merasa sangat kesal. Dia mencoba melepaskan tangannya, namun Bagus Pandhita memegang dengan erat.

"Karena bukan dia yang memasuki taman bungaku, melainkan gadis menawan serupa kupu-kupu yang tampak begitu polos."

"Ini sudah zaman modern, Bapak tidak perlu lagi mempercayai hal-hal seperti itu!"

"Inginnya aku juga dapat memilih pasangan sendiri seperti yang lain. Namun tradisi dalam keluargaku tidak memperbolehkan hal yang demikian. Menurutmu mengapa aku hingga umur seperti ini belum juga memiliki pasangan?"

Perkataan lembut pria itu berhasil mempengaruhi Utari, hingga gadis itupun mendongak. Di balik sikap ramah dan humoris pria itu, Utari seakan menemukan sisi lain dari Bagus Pandhita. Pria itu kesepian, karena menunggu pengantinnya.

Meski dia memiliki pencapaian karir yang gemilang, tapi pasti ada yang kurang dalam hidupnya. Tidak ada tempat berbagi, kala malam telah tiba. Tidak ada tempatnya bermanja, ketika rasa lelah mendera. Bagus Pandhita bukannya tidak memiliki perasaan kepada lawan jenis. Namun dia harus menahan diri, karena jodohnya sudah ditentukan.

Wanita itu mungkin akan mengisi hatinya, tapi hanya sesaat. Karena pendamping hidupnya sudah ditentukan. Bagus Pandhita selalu memilih menjauh, sebelum perasaannya berkembang semakin lebih. Dia memilih memakai topeng ramah dan bahagia, meski hatinya menangis karena kesepian.

"Tapi Bapak tidak tahu seperti apa sifat saya yang sebenarnya." Utari masih mencoba menggoyahkan keinginan pria itu.

"Kita bisa belajar untuk saling memahami sifat kita. Karena kamupun belum tahu seperti apa diriku yang sesungguhnya."

"Tapi pernikahan ini akan hadir tanpa cinta!" imbuh Utari dengan jantung mulai berdebar liar.

"Cinta juga akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Bukankah kita bisa sama-sama mempelajarinya?" kerling Bagus hingga membuat Utari mati gaya.

Gadis itu melepaskan genggaman tangan Bagus Pandhita. Dia menatap ke manik mata kelam Bagus, yang tampak tidak bercanda sedikitpun. Hati kecil Utari berkata, bahwa mungkin tidak sulit mencintai pria seperti Bagus. Namun, dia masih takut menjalani ikatan yang menurutnya sedikit prematur itu.

"Aku---saya masih belum dapat menerimanya. Ikatan ini terlalu cepat, dan pernikahan itu juga."

"Sesuatu yang baik tidak boleh ditunda terlalu lama. Lagipula aku tidak mau, jika terlalu lama menunggu dan hatimu berpindah kepada oranglain."

"Tapi saya tidak mau rekan di kantor mengetahui jika kita sudah bertunangan. Pokoknya sampai hari H saya tidak mau siapapun mengetahui ini."

"Kenapa? Apa kamu masih meragukan niatku?"

Utari menatap Bagus yang sudah memasang tampang memelas. Pria itu benar-benar sudah membuat Utari mati kutu. Semua argumennya di sanggah dengan baik, seakan mereka memang pasangan serasi yang sudah lama saling memiliki.

"Bukan begitu! Saya hanya butuh waktu untuk menelaah semua. Saya juga akan melepaskan cincin ini jika pergi bekerja."

"Jangan coba-coba melakukannya lagi, atau pernikahan itu akan benar-benar aku percepat!" ancam Bagus Pandhita dengan nada serius.

Utari mendorong dada Bagus Pandhita dengan keras, hingga pria itu sedikit terdorong ke belakang, "Kenapa Bapak menyebalkan sekali? Kenapa aku harus masuk ke dalam taman sialan itu? Kenapa juga aku harus mengikuti acara perkemahan itu?"

"Kamu semakin cantik kalau marah seperti itu."

"Jangan mencoba merayu atau menghibur! Pokoknya mulai sekarang, jaga jarak dengan saya! Saya tidak peduli, cincin ini akan saya lepas ketika di kantor dan akan saya pakai kembali jika sudah di rumah!"

Sebelum Bagus Pandhita dapat menyahut, Utari sudah pergi dengan langkah cepat. Pria itu terlihat tersenyum, bukan senyum ramah seperti biasa. Namun lebih pada senyum licik, bahwa dia sungguh-sungguh dengan semua perkataannya.

Bersambung....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun