"Ini sudah zaman modern, Bapak tidak perlu lagi mempercayai hal-hal seperti itu!"
"Inginnya aku juga dapat memilih pasangan sendiri seperti yang lain. Namun tradisi dalam keluargaku tidak memperbolehkan hal yang demikian. Menurutmu mengapa aku hingga umur seperti ini belum juga memiliki pasangan?"
Perkataan lembut pria itu berhasil mempengaruhi Utari, hingga gadis itupun mendongak. Di balik sikap ramah dan humoris pria itu, Utari seakan menemukan sisi lain dari Bagus Pandhita. Pria itu kesepian, karena menunggu pengantinnya.
Meski dia memiliki pencapaian karir yang gemilang, tapi pasti ada yang kurang dalam hidupnya. Tidak ada tempat berbagi, kala malam telah tiba. Tidak ada tempatnya bermanja, ketika rasa lelah mendera. Bagus Pandhita bukannya tidak memiliki perasaan kepada lawan jenis. Namun dia harus menahan diri, karena jodohnya sudah ditentukan.
Wanita itu mungkin akan mengisi hatinya, tapi hanya sesaat. Karena pendamping hidupnya sudah ditentukan. Bagus Pandhita selalu memilih menjauh, sebelum perasaannya berkembang semakin lebih. Dia memilih memakai topeng ramah dan bahagia, meski hatinya menangis karena kesepian.
"Tapi Bapak tidak tahu seperti apa sifat saya yang sebenarnya." Utari masih mencoba menggoyahkan keinginan pria itu.
"Kita bisa belajar untuk saling memahami sifat kita. Karena kamupun belum tahu seperti apa diriku yang sesungguhnya."
"Tapi pernikahan ini akan hadir tanpa cinta!" imbuh Utari dengan jantung mulai berdebar liar.
"Cinta juga akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Bukankah kita bisa sama-sama mempelajarinya?" kerling Bagus hingga membuat Utari mati gaya.
Gadis itu melepaskan genggaman tangan Bagus Pandhita. Dia menatap ke manik mata kelam Bagus, yang tampak tidak bercanda sedikitpun. Hati kecil Utari berkata, bahwa mungkin tidak sulit mencintai pria seperti Bagus. Namun, dia masih takut menjalani ikatan yang menurutnya sedikit prematur itu.
"Aku---saya masih belum dapat menerimanya. Ikatan ini terlalu cepat, dan pernikahan itu juga."