Mohon tunggu...
Maya Batari
Maya Batari Mohon Tunggu... Guru - Single Cool

mencintai diri sendiri dimulai dari dalam hati yang selalu berpikir positif dan bahagia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rahasia Cinta Sang Pewaris #Bab 8

7 April 2021   05:01 Diperbarui: 7 April 2021   05:11 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senin yang menyebalkan.

Setidaknya itu yang dialami oleh Utari, ketika dia disibukkan dengan mengantarkan berbagai dokumen ke seluruh kepala bagian. Kegiatan itu sebenarnya sangat menyenangkan, karena dia dapat pergi ke seluruh bagian dan bertegur sapa dengan siapapun. Namun yang membuat perasaannya turun drastis adalah, sikap Bagus Pandhita yang tidak mau menatapnya.

Sejak apel pagi, ketika semua pegawai berjabat tangan dengan pria itu. Bagus tidak mau melihat Utari, seperti dia adalah makhluk astral. Bagus menjabat tangan Utari singkat, tanpa harus memasang senyum penuh semangat seperti biasa.

Sejak kapan hal itu menjadi penting?

Utari sendiri tidak mengerti. Namun menjadi satu-satunya orang yang tidak diperhatikan, itu sangat tidak menyenangkan. Utari berdoa dalam hati, semoga orang lain tidak mengetahui perubahan itu.

"Ada apa? Kenapa ramai sekali?" tanya Utari ketika melihat beberapa pegawai sibuk memakai jaket dan menyandang tas.

Mayang terlihat sibuk menata map di meja, "Bapak mau menghadiri acara panen raya di salah satu Kecamatan. Beberapa pegawai diharapkan menyertai, tapi tentu saja tidak termasuk kita."

"Oh, begitu." Utari duduk di kursi dengan setengah melamun, "apa kita bisa izin pulang lebih awal?"

"Riri! Mayang! Kalian ikut ke lapangan!" Pak Wisnu, sang kepala bagian berteriak dari pintu masuk.

"Kita ikut, Pak?" tanya Mayang tidak percaya.

"Iya, kalian ikut! Cepatlah bersiap, nanti kalian ikut mobil saya saja."

Utari dan Mayang bergegas menyambar tas kerja mereka, dan langsung mengikuti Pak Wisnu. Ketika mereka datang, staf bagian informasi sedang memberikan instruksi jadwal acara hari itu. Sementara Bagus Pandhita tampak sedang sibuk berbicara dengan kepala Dinas Pertanian.

"Ngelamun lagi?" tanya Mayang ketika mobil yang mereka tumpangi sudah melaju di jalanan.

Utari masih menatap keluar jendela, menyaksikan pemandangan perkotaan berganti dengan suasana hijau pedesaan, "Tidak menyangka saja, bisa ikutan acara seperti ini."

"Aku sudah beberapa kali ikut. Acara biasanya sangat meriah. Aku suka suguhannya, makanan tradisional yang tidak akan kamu temukan di manapun."

"Itu pasti menyenangkan."

"Kecuali bagian berpanas ria di sawah."

"Memangnya Mbak Riri belum pernah diajak ke acara seperti ini?" Pak Wisnu ikut menimpali.

"Belum pernah, Pak. Maklum, saya kan baru enam bulan jadi honorer di sini."

"Lah, bulan kemarin pas acara ruwat bumi di desa Cempedak memang tidak ikut?"

"Tidak, Pak. Saat itu saya sedang sibuk membantu Pak Cipto menyusun laporan bulanan."

"Ya, sudah. Nanti pinjem caping saja sama petani. Kasihan kulit Mbak Riri yang putih, nanti gosong."

"Pak Wisnu ini ada-ada saja."

Tawa merekapun meledak memenuhi mobil. Pak Wisnu adalah salah satu atasan yang tidak pernah membedakan pegawai. Sikap ramah dan ngayomi yang digaungkan oleh Bagus Pandhita ternyata memang banyak mempengaruhi pegawainya.

Hampir tiga puluh menit, ketika perjalanan mereka akhirnya tiba di desa yang dituju. Berbagai spanduk sudah terpasang di mulut desa. Sementara warga berjejer di kanan dan kiri jalan, menyambut iring-iringan itu.

Rombongan di sambut dengan tarian selamat datang di Balai Desa. Setelah beramah tamah sejenak dengan warga, Bagus Pandhita kemudian menyampaikan pidato singkat, yang disambut hangat oleh seluruh warga.

"Mbak cantik, silahkan memakai caping ini." salah satu ibu memberikan sebuah caping lebar kepada Utari.

"Terima kasih, Bu." Utari menerima dengan senang hati.

"Minta doanya ya, Mbak. Semoga anak saya kalau lahir bisa secantik, Mbak." senyum ibu itu sambil mengelus perutnya yang membuncit.

Utari menatap perut si ibu, kemudian ikut mengusapnya, "Amin, Bu. Sudah berapa bulan, Bu?"

"Ini sudah masuk bulan ke tujuh. Ngomong-ngomong, Mbak cantik ini namanya siapa?"

Utari tertawa kccil mendengar sebutan itu, sementara Mayang yang berada di sampingnya hanya memperhatikan, "Nama saya Utari Paramita, Bu."

"Pantes. Namanya secantik yang punya." imbuh ibu muda itu.

"Alhamdulillah." Utari akhirnya berpamitan setelah rombongan Bagus Pandhita mulai berjalan menuju sawah yang dimaksud.

"Penggemar kamu sepertinya sekarang tambah banyak, Ri." Mayang berbisik ketika beberapa pemuda desa mulai mengambil foto Utari.

"Ngomong apaan sih!" Utari bersikap seakan tidak peduli. Padahal dia sebenarnya agak risih, bahkan ketika beberapa dari mereka mulai menempel dan mau berkenalan dengannya.

"Seharusnya yang mendapat pengawalan ketat itu kamu, bukannya Bapak."

"May, kita jalan di tengah Bapak-bapak aja yuk." ajak Utari yang merasa kian tidak nyaman.

Sedikit bergegas, ketika keduanya berhasil mendapat tempat di antara pegawai lain. Utari hampir saja menabrak tubuh Puspa Ayu, yang berjalan tidak jauh di depan. Di sawah, ternyata sudah ada wartawan yang akan meliput kegiatan itu.

Utari dan pegawai lain menunggu di pinggir, ketika Bagus Pandhita melakukan pemotongan padi pertama kali. Kemudian diikuti oleh Kepala Dinas dan Kepala Desa. Beberapa wartawan tampak berbicara serius dengan Bagus Pandhita, sebelum mata mereka tertuju kepada rombongan.

Salah satu wartawan menunjuk ke arah Utari, yang tengah berdiri di pinggir dengan senyum tersungging di bibir. Beberapa orang bergantian minta berfoto dengannya, seakan dia artis saja.

"Mbak Riri, dipanggil Bapak." ucap Puspa Ayu dengan dingin. Kedua matanya menatap Utari dengan tidak suka.

"Saya? Tapi kenapa?" Utari mengerjap dengan bingung.

"Para wartawan menghendaki beberapa lembar foto Bapak sedang panen dengan Ibu. Tapi karena belum adanya pendamping, maka mereka meminta salah satu pegawai mewakili saja. Kamu yang mereka inginkan!" Puspa Ayu seperti tidak senang dengan kenyataan itu.

Utari menatap ke tengah sawah, ketika Bagus Pandhita melambaikan tangan ke arahnya. Utari merasa tidak memiliki pilihan. Berada di sini, dia rasanya ingin menangis. Mayang tidak bisa membantu, bahkan yang lain juga seperti mengompori. Namun berada di dekat pria itu, juga bukan pilihan terbaik.

"Jangan membuat buruk reputasi Bapak! Wartawan yang menginginkan kamu berfoto, bukan Bapak!"

"I---iya, Bu."

Meski langkah kakinya teramat sangat berat, namun Utari mengikuti Puspa Ayu menuju tengah sawah. Para wartawan menyambutnya dengan hangat, dan beberapa melontarkan pujian yang sudah menjadi makanan sehari-hari bagi gadis itu.

Salah satu dari mereka, mendorong tubuhnya agar menempel pada pria itu. Seseorang menyodorkan satu ikat padi kepada Utari dan Bagus Pandhita.

"Mbak Riri tidak usah tegang. Senyum saja yang lebar, nanti dikiranya saya pemimpin yang menakutkan lagi." Bagus Pandhita dengan keramahan luar biasa.

"Maaf, Pak." Utari berusaha bersikap sewajar mungkin. Jika Bagus Pandhita bisa bersikap seolah di antara mereka tidak ada apa-apa, lalu kenapa dia harus cemas.

Utari berusaha mengikuti semua instruksi para juru foto itu, di bawah tatapan setajam pedang Puspa Ayu. Sementara Bagus Pandhita tampak nyaman seperti biasa. Pria itu tidak mengusahakan sentuhan fisik sedikitpun, namun kedekatan itu justru seperti membakar dari dalam.

Aroma stroberi yang menguar dari tubuh Utari, dan aroma tanah basah yang berpadu dengan wangi padi. Dia ingin memeluk tubuh mungil itu. Andai dapat memilih, Bagus ingin agar Utari selalu berada di sisinya. Entah sejak kapan, pemikiran itu menganggu Bagus Pandhita.

Gadis itu terlalu banyak mengundang perhatian. Meski terkesan tidak peduli, toh matanya tetap tidak bisa meninggalkan Utari. Hatinya panas ketika beberapa pemuda mendekati gadisnya. Tapi tetap saja, Bagus harus bersikap profesional. Dia tidak mau semua orang curiga kepada mereka berdua, sebelum peresmian hubungan itu.

Gadisnya?

bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun