Utari menatap ke tengah sawah, ketika Bagus Pandhita melambaikan tangan ke arahnya. Utari merasa tidak memiliki pilihan. Berada di sini, dia rasanya ingin menangis. Mayang tidak bisa membantu, bahkan yang lain juga seperti mengompori. Namun berada di dekat pria itu, juga bukan pilihan terbaik.
"Jangan membuat buruk reputasi Bapak! Wartawan yang menginginkan kamu berfoto, bukan Bapak!"
"I---iya, Bu."
Meski langkah kakinya teramat sangat berat, namun Utari mengikuti Puspa Ayu menuju tengah sawah. Para wartawan menyambutnya dengan hangat, dan beberapa melontarkan pujian yang sudah menjadi makanan sehari-hari bagi gadis itu.
Salah satu dari mereka, mendorong tubuhnya agar menempel pada pria itu. Seseorang menyodorkan satu ikat padi kepada Utari dan Bagus Pandhita.
"Mbak Riri tidak usah tegang. Senyum saja yang lebar, nanti dikiranya saya pemimpin yang menakutkan lagi." Bagus Pandhita dengan keramahan luar biasa.
"Maaf, Pak." Utari berusaha bersikap sewajar mungkin. Jika Bagus Pandhita bisa bersikap seolah di antara mereka tidak ada apa-apa, lalu kenapa dia harus cemas.
Utari berusaha mengikuti semua instruksi para juru foto itu, di bawah tatapan setajam pedang Puspa Ayu. Sementara Bagus Pandhita tampak nyaman seperti biasa. Pria itu tidak mengusahakan sentuhan fisik sedikitpun, namun kedekatan itu justru seperti membakar dari dalam.
Aroma stroberi yang menguar dari tubuh Utari, dan aroma tanah basah yang berpadu dengan wangi padi. Dia ingin memeluk tubuh mungil itu. Andai dapat memilih, Bagus ingin agar Utari selalu berada di sisinya. Entah sejak kapan, pemikiran itu menganggu Bagus Pandhita.
Gadis itu terlalu banyak mengundang perhatian. Meski terkesan tidak peduli, toh matanya tetap tidak bisa meninggalkan Utari. Hatinya panas ketika beberapa pemuda mendekati gadisnya. Tapi tetap saja, Bagus harus bersikap profesional. Dia tidak mau semua orang curiga kepada mereka berdua, sebelum peresmian hubungan itu.
Gadisnya?