Mohon tunggu...
yassin krisnanegara
yassin krisnanegara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembicara Publik / Coach / Pengusaha

Dalam proses belajar untuk berbagi melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melepas Bukan Berarti Kalah

17 Januari 2025   06:08 Diperbarui: 17 Januari 2025   06:08 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalau saja kita bisa mengulang waktu," ujar Tari pelan, suaranya tenggelam di antara denting sendok yang membentur gelas kopi. Ia menatap ke luar jendela kafe, menelusuri tetesan hujan yang mengalir di kaca, seakan mencari sesuatu yang hilang di luar sana.

Wira menyesap kopinya, memikirkan apa yang harus dikatakan. Dia tidak pernah menyukai percakapan seperti ini---percakapan yang mengangkat kenangan lama, kenangan yang lebih baik dibiarkan tertidur.

"Tapi kita tidak bisa, kan?" balasnya, lebih terdengar seperti sebuah pernyataan daripada pertanyaan.

Tari tersenyum tipis, tapi tidak sampai ke matanya. "Kamu masih seperti dulu, selalu logis."

Dan kamu masih suka menghindari kenyataan, pikir Wira, tapi dia memilih untuk tidak mengatakannya. "Hujannya makin deras. Mau kuantar pulang nanti?"

"Tak perlu," jawab Tari singkat. Lalu, setelah jeda yang panjang, ia melanjutkan, "Wira, kenapa kita berakhir seperti itu dulu?"

Baca juga: Semuanya Asumsimu

Wira menarik napas panjang. Pertanyaan itu, meskipun sederhana, menyimpan beban berat di dalamnya. "Kita terlalu sibuk menjadi diri kita sendiri," jawabnya. "Aku dengan ambisiku, kamu dengan mimpimu. Tidak ada ruang untuk saling memahami."

Tari tertawa kecil, nada getir menyelinap di ujungnya. "Aku kira kamu akan menyalahkanku."

"Apa gunanya?" Wira menatap langsung ke matanya. "Kita sudah selesai, Tari. Menyalahkan siapa pun tidak akan mengubah apa-apa."

Baca juga: Kamar Sudut

Wira ingat dengan jelas bagaimana semuanya dimulai. Pertemuan pertama mereka di perpustakaan kampus, percakapan panjang yang mengalir tanpa henti, hingga akhirnya mereka memutuskan berjalan bersama. Saat itu, semuanya terasa begitu mudah, begitu indah.

Namun, hubungan mereka mulai retak ketika ambisi masing-masing menguasai segalanya. Wira sibuk mengejar kariernya, dan Tari, dengan semangat seni yang membara, terus terbang lebih tinggi ke dunianya.

Mereka saling menyakiti, tanpa sadar. Dan ketika akhirnya hubungan itu berakhir, Wira merasa lega sekaligus hampa.

"Kamu tahu, aku sering berpikir, kalau saja aku bisa lebih memahami kamu waktu itu..." Tari kembali membuka percakapan, suaranya mengambang di udara.

"Kita tidak bisa hidup dari 'kalau saja,' Tari." Wira menatapnya lagi, kali ini dengan kelembutan. "Kita harus hidup dengan kenyataan."

Tari terdiam. Tangannya memainkan sendok di cangkir kopinya, menciptakan pola-pola kecil di permukaan cairan hitam itu. "Aku bukan mau kembali, Wira. Aku hanya ingin tahu kalau semuanya baik-baik saja di antara kita."

Wira tersenyum. "Aku baik-baik saja, dan aku harap kamu juga."

Percakapan mereka terus mengalir, seperti hujan di luar yang tak kunjung reda. Tari menceritakan bagaimana ia sekarang menjadi seorang penari, dengan beberapa pentas sukses di Jakarta dan luar negeri. Wira, di sisi lain, berbicara tentang pekerjaannya sebagai konsultan manajemen, pekerjaan yang ia cintai meski kadang melelahkan.

Namun, di balik kata-kata mereka, ada sesuatu yang tak terucapkan. Sebuah rasa kehilangan yang samar, rasa yang tidak mereka akui tetapi terasa di udara di antara mereka.

"Tari, kamu tahu apa yang kupelajari setelah kita berpisah?" Wira tiba-tiba bertanya.

"Apa?"

"Bahwa melepaskan bukan berarti kalah," jawabnya. "Kadang, itu justru kemenangan terbesar kita."

Tari menatapnya lama. "Aku juga belajar satu hal, Wira. Bahwa kenangan indah harus dihargai, tetapi tidak boleh menahan kita untuk melangkah maju."

Ketika hujan akhirnya mulai reda, mereka berjalan keluar dari kafe. Jalanan masih basah, dan aroma tanah yang segar memenuhi udara.

"Terima kasih sudah meluangkan waktu, Wira," ujar Tari sambil tersenyum.

"Sama-sama." Wira balas tersenyum. "Jaga dirimu, Tari."

"Kamu juga."

Mereka berjalan ke arah yang berbeda, tanpa menoleh ke belakang. Tapi di hati mereka, ada kedamaian yang baru ditemukan---sebuah penerimaan bahwa masa lalu adalah pelajaran, bukan beban.

Dan untuk pertama kalinya, Wira merasa benar-benar bebas.

Kutipan akhir:


"Lepaskanlah yang tak bisa kau genggam. Karena kebahagiaan ada pada penerimaan, bukan penolakan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun