Mohon tunggu...
yassin krisnanegara
yassin krisnanegara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembicara Publik / Coach / Pengusaha

Dalam proses belajar untuk berbagi melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

AI dalam Kehidupan Sosial: Berkah atau Alarm Bahaya?

6 Januari 2025   15:27 Diperbarui: 6 Januari 2025   15:27 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

"Apa jadinya kalau kita lebih sering bicara dengan mesin daripada dengan manusia?" tanyaku pada seorang teman suatu malam.

Dia tertawa kecil, lalu menjawab, "Mungkin kita sedang menuju ke sana. Siapa tahu, nanti AI malah jadi sahabat terbaik."

Percakapan itu terkesan sepele, tapi membekas di pikiranku. Teknologi kecerdasan buatan atau AI kini merambah ke berbagai aspek kehidupan, termasuk interaksi sosial. Kita semakin sering melihat AI menjadi "pendengar" atau "konsultan" dalam kehidupan sehari-hari. Tapi, apakah ini benar-benar membantu, atau justru menjadi alarm bahaya bagi kemanusiaan?

AI dan Hubungan Sosial yang Semakin Digital

Aku mencoba membayangkan skenario sederhana. Katakanlah, kamu pulang kerja, lelah, dan ingin berbicara dengan seseorang. Tapi tidak ada siapa-siapa. Maka, kamu membuka aplikasi chatbot AI yang dirancang untuk mendengar keluh kesah. Dalam beberapa menit, kamu merasa lega karena ada yang "mendengarkan."

Tapi, apakah ini benar-benar sehat? Mungkin iya, mungkin tidak. Di satu sisi, AI bisa menjadi pelarian di saat tidak ada orang yang bisa diajak bicara. Namun, apakah itu cukup?

Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi nyata. Nada suara, ekspresi wajah, bahkan keheningan di tengah obrolan, semua itu tak bisa digantikan oleh AI. Bayangkan jika kita semakin sering mengandalkan teknologi untuk berbicara, apakah kita perlahan kehilangan kemampuan berempati?

Aku jadi bertanya-tanya, apakah AI sebenarnya membantu menyembuhkan kesepian, atau justru membuat kita semakin terisolasi?

AI sebagai Pendukung Kesehatan Mental

Dalam beberapa tahun terakhir, AI mulai digunakan sebagai alat dalam terapi kesehatan mental. Beberapa aplikasi memungkinkan pengguna berbicara dengan chatbot yang dirancang untuk membantu mengatasi kecemasan atau stres.

"Kadang aku merasa lebih nyaman bicara dengan chatbot," ujar seorang teman yang pernah mencoba layanan seperti itu. "AI tidak menghakimi, dan selalu punya waktu untuk mendengar."

Aku terdiam mendengar pengakuannya. Di satu sisi, ini terdengar positif. Tapi di sisi lain, aku khawatir. Apakah kita akhirnya terlalu nyaman berbicara dengan mesin karena merasa manusia lain terlalu sulit dipahami?

Pertanyaannya, apakah AI benar-benar bisa menggantikan peran seorang terapis yang memahami nuansa emosi manusia? Atau ini hanya solusi sementara yang tidak menyentuh akar masalah?

AI dan Perubahan Cara Kita Bekerja

Tidak hanya dalam hubungan sosial, AI juga mulai mengubah cara kita bekerja. Dalam dunia bisnis, AI digunakan untuk menganalisis data, membuat keputusan, hingga melakukan pekerjaan rutin yang sebelumnya dilakukan manusia.

Namun, perubahan ini menimbulkan dilema baru. Seorang teman yang bekerja di bidang kreatif pernah berkata, "AI bisa membuat desain yang lebih cepat dari manusia. Kadang aku merasa tergantikan."

Aku paham kegelisahannya. Tapi, aku juga melihat peluang di baliknya. Mungkin AI bisa mengambil alih pekerjaan rutin, sehingga manusia punya lebih banyak waktu untuk fokus pada kreativitas dan inovasi.

Tapi, apakah kita siap untuk beradaptasi? Atau justru kita akan terus merasa terancam oleh kemajuan teknologi ini?

AI dalam Kesenian dan Kreativitas

AI kini mampu menciptakan musik, menulis puisi, bahkan melukis karya seni. Ini memunculkan pertanyaan baru: apakah kreativitas manusia masih relevan di era teknologi?

Aku pernah melihat sebuah lukisan yang dibuat oleh AI, dan jujur, itu sangat mengesankan. Tapi, aku merasa ada yang kurang. Mungkin itu jiwa. Sebuah karya seni yang dibuat manusia membawa cerita, emosi, dan perjuangan yang tak bisa direplikasi oleh algoritma.

"Bagaimana perasaanmu melihat ini?" tanyaku pada seorang pelukis yang sedang melihat karya AI.

Dia mengangkat bahu. "Indah, tapi dingin. Tidak ada cerita di baliknya."

Mungkin dia benar. Atau mungkin ini hanya soal waktu sebelum kita belajar menghargai seni yang dihasilkan mesin.

Bagaimana Kita Harus Menyikapi?

Ketika teknologi semakin canggih, aku merasa ada dua pilihan. Pertama, kita bisa menolak dan berusaha mempertahankan cara lama. Kedua, kita bisa beradaptasi dan mencari cara untuk hidup berdampingan dengan AI.

Tapi, apakah itu mudah? Tidak selalu.

"Apa yang paling kamu takutkan dari AI?" tanyaku pada seorang kenalan yang bekerja di bidang teknologi.

Dia terdiam sejenak, lalu menjawab, "Bukan teknologinya, tapi manusianya. Bagaimana kita menggunakan AI, itu yang akan menentukan apakah ini menjadi berkah atau bencana."

Jawabannya membuatku berpikir. Mungkin masalahnya bukan pada AI, tapi pada bagaimana kita memanfaatkannya. Jika kita bijak, AI bisa menjadi alat yang memperkuat hubungan sosial, bukan merusaknya.

Namun, jika kita terlalu bergantung pada teknologi ini, apa yang akan terjadi? Apakah kita akhirnya kehilangan esensi dari menjadi manusia? Atau, apakah ini hanya kekhawatiran berlebihan yang akan hilang seiring waktu?

Pertanyaan ini terus terngiang di pikiranku. Dan aku yakin, kita semua perlu mulai memikirkannya. Sebelum teknologi benar-benar mengambil alih lebih banyak ruang dalam hidup kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun