Aku terdiam mendengar pengakuannya. Di satu sisi, ini terdengar positif. Tapi di sisi lain, aku khawatir. Apakah kita akhirnya terlalu nyaman berbicara dengan mesin karena merasa manusia lain terlalu sulit dipahami?
Pertanyaannya, apakah AI benar-benar bisa menggantikan peran seorang terapis yang memahami nuansa emosi manusia? Atau ini hanya solusi sementara yang tidak menyentuh akar masalah?
AI dan Perubahan Cara Kita Bekerja
Tidak hanya dalam hubungan sosial, AI juga mulai mengubah cara kita bekerja. Dalam dunia bisnis, AI digunakan untuk menganalisis data, membuat keputusan, hingga melakukan pekerjaan rutin yang sebelumnya dilakukan manusia.
Namun, perubahan ini menimbulkan dilema baru. Seorang teman yang bekerja di bidang kreatif pernah berkata, "AI bisa membuat desain yang lebih cepat dari manusia. Kadang aku merasa tergantikan."
Aku paham kegelisahannya. Tapi, aku juga melihat peluang di baliknya. Mungkin AI bisa mengambil alih pekerjaan rutin, sehingga manusia punya lebih banyak waktu untuk fokus pada kreativitas dan inovasi.
Tapi, apakah kita siap untuk beradaptasi? Atau justru kita akan terus merasa terancam oleh kemajuan teknologi ini?
AI dalam Kesenian dan Kreativitas
AI kini mampu menciptakan musik, menulis puisi, bahkan melukis karya seni. Ini memunculkan pertanyaan baru: apakah kreativitas manusia masih relevan di era teknologi?
Aku pernah melihat sebuah lukisan yang dibuat oleh AI, dan jujur, itu sangat mengesankan. Tapi, aku merasa ada yang kurang. Mungkin itu jiwa. Sebuah karya seni yang dibuat manusia membawa cerita, emosi, dan perjuangan yang tak bisa direplikasi oleh algoritma.
"Bagaimana perasaanmu melihat ini?" tanyaku pada seorang pelukis yang sedang melihat karya AI.