Sinar mentari pagi menusuk sela-sela dedaunan, menerangi jalan setapak yang basah setelah diguyur hujan. Langit biru memamerkan awan tipis, menjanjikan hari yang cerah. Namun, Anisa tetap merasa gelisah.
Ia berdiri di depan halte kecil di pinggiran kota, memeluk ransel yang penuh sesak. Napasnya berat, bukan karena lelah berjalan, melainkan karena pikirannya yang sibuk bertarung.
"Apa sebenarnya yang aku cari di sini?" pikirnya.
Ia memandang sekeliling. Trotoar lengang, kios kecil di seberang yang mulai membuka pintunya, dan motor-motor yang lewat tanpa jeda. Tempat ini terasa asing, seolah berbeda dunia dari rutinitas yang biasa ia jalani. Kota ini memang hanya berjarak dua jam dari rumahnya, tetapi seakan berjarak bertahun-tahun dalam suasana.
---
"Ini waktumu, Nis," kata Riana, sahabatnya, semalam sebelum keberangkatannya. "Nggak semua orang dapat peluang ini. Jangan ragu."
Kata-kata itu terus membekas. Jangan ragu. Namun, hatinya tak sepenuhnya yakin. Tiket kereta yang sudah usang ia genggam erat, seolah menjadi pengingat tujuan yang kini terasa abu-abu. Ia datang ke sini untuk mengisi posisi di lembaga pendidikan lokal, jauh dari hiruk-pikuk kota besar.
Tapi benarkah ia siap? "Bagaimana kalau aku gagal? Bagaimana kalau tempat ini bukan yang kucari?" pikirnya.
Di tengah keraguan itu, sebuah bisikan kecil muncul, nyaris tenggelam oleh suara-suara negatif di kepalanya. "Percayalah, skenario-Nya selalu indah."
---
Anisa melangkah keluar dari halte, mencoba meyakinkan dirinya. Jalan setapak yang berdebu menjadi saksi langkah awalnya menuju kehidupan baru. Ia menoleh ke kiri, memperhatikan kios kecil yang mulai sibuk.