Mohon tunggu...
yassin krisnanegara
yassin krisnanegara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembicara Publik / Coach / Pengusaha

Dalam proses belajar untuk berbagi melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Kaum Menengah Indonesia, Kuat atau Sekadar Bertahan Hidup?

16 Agustus 2024   06:25 Diperbarui: 16 Agustus 2024   13:34 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kaum menengah di Indonesia selalu menjadi topik menarik untuk dibahas. Banyak yang mengatakan bahwa mereka adalah penopang perekonomian, kelompok yang paling dinamis, dan yang paling terdampak ketika krisis datang. Tapi benarkah mereka sekuat yang sering digembar-gemborkan? Atau mereka hanya sekadar bertahan hidup di tengah perubahan ekonomi yang semakin tidak ramah?

Ketika berbicara tentang kaum menengah, sering kali kita membayangkan orang-orang yang hidup dengan nyaman, memiliki rumah, mobil, dan penghasilan yang cukup untuk menabung dan berinvestasi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa mereka yang masuk kategori kelas menengah adalah mereka yang memiliki pengeluaran antara Rp2,8 juta hingga Rp15 juta per bulan. Mereka ini dianggap sebagai motor penggerak ekonomi karena daya belinya yang cukup besar.

Namun, di balik definisi itu, ada kenyataan lain yang sering kali luput dari perhatian. Kaum menengah Indonesia, meskipun terlihat mapan, sebenarnya hidup di bawah bayang-bayang ketidakpastian ekonomi. Mereka adalah kelompok yang paling rentan terhadap fluktuasi ekonomi, kenaikan harga kebutuhan pokok, hingga kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada kesejahteraan rakyat.

"Katanya kelas menengah itu mapan, tapi kok rasanya seperti berjalan di atas tali? Sedikit saja goyangan, bisa jatuh," keluh seorang pekerja kantoran yang merasa penghasilannya selalu habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa bisa menabung.

Salah satu masalah utama yang dihadapi kaum menengah adalah pendapatan yang semakin terkikis oleh inflasi. Setiap tahun, harga barang dan jasa terus naik, sementara kenaikan gaji tidak selalu sebanding. Ini menjadi masalah serius bagi mereka yang hidup di kota-kota besar, di mana biaya hidup semakin tinggi.

"Setiap kali gaji naik, harga barang juga ikut naik. Ujung-ujungnya, tidak ada bedanya," ungkap seorang pegawai yang harus memutar otak agar gajinya cukup hingga akhir bulan.

Fenomena ini menjadi bukti bahwa daya beli kaum menengah sebenarnya semakin menurun. Mereka terjebak dalam lingkaran setan di mana penghasilan yang seharusnya cukup untuk hidup nyaman, justru habis untuk menutupi kebutuhan dasar. Akibatnya, banyak dari mereka yang terpaksa mengurangi pengeluaran untuk hal-hal yang dianggap tidak esensial, seperti hiburan, rekreasi, atau investasi.

Untuk bisa tetap bertahan, banyak kaum menengah yang akhirnya mengandalkan kredit. Mulai dari kartu kredit, kredit kendaraan bermotor, hingga kredit pemilikan rumah (KPR), semua menjadi solusi instan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tapi, apakah ini benar-benar solusi atau justru menambah beban?

"Kredit itu seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, membantu kita membeli barang yang kita butuhkan. Tapi di sisi lain, bisa jadi jerat yang membuat kita semakin terpuruk," kata seorang ibu rumah tangga yang terpaksa harus memutar otak untuk membayar cicilan setiap bulan.

Kondisi ini membuat kaum menengah seolah-olah hidup dalam utang. Mereka terus-menerus harus membayar cicilan, dan sedikit saja ada masalah, seperti kehilangan pekerjaan atau sakit, maka semuanya bisa berantakan. Tidak heran jika banyak yang merasa bahwa mereka hidup dalam tekanan, meskipun secara kasat mata terlihat nyaman.

Dua hal yang sering kali dianggap sebagai penentu kesejahteraan adalah pendidikan dan kesehatan. Bagi kaum menengah, memastikan anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang baik dan akses kesehatan yang memadai adalah prioritas utama. Namun, biaya untuk kedua hal ini semakin hari semakin membengkak.

"Biaya sekolah sekarang mahal sekali, belum lagi kalau anak sakit. Asuransi kesehatan juga tidak sepenuhnya menanggung biaya, jadi tetap saja harus keluar uang banyak," ujar seorang ayah yang setiap bulan harus menyisihkan sebagian besar penghasilannya untuk membayar biaya pendidikan dan kesehatan.

Di sisi lain, kualitas layanan pendidikan dan kesehatan di Indonesia masih jauh dari ideal. Banyak kaum menengah yang merasa bahwa mereka harus membayar mahal untuk sesuatu yang sebenarnya belum memadai. Akibatnya, mereka terpaksa harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk mencari layanan yang lebih baik, baik itu untuk pendidikan di sekolah swasta atau layanan kesehatan di rumah sakit swasta.

Bagi banyak orang, memiliki rumah adalah salah satu indikator keberhasilan dalam hidup. Namun, bagi kaum menengah Indonesia, mimpi ini semakin sulit dicapai. Harga properti yang terus meroket, terutama di kota-kota besar, membuat banyak dari mereka harus berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk membeli rumah.

"Beli rumah sekarang bukan lagi mimpi, tapi mimpi buruk. Harganya tidak masuk akal, sementara gaji segitu-gitu saja," keluh seorang pekerja yang merasa bahwa membeli rumah kini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang benar-benar kaya.

Akibatnya, banyak kaum menengah yang terpaksa menyewa atau membeli rumah di pinggiran kota yang jauh dari tempat kerja. Ini menambah beban lain, yaitu biaya transportasi dan waktu yang harus dihabiskan di jalan setiap hari. Di satu sisi, mereka ingin memiliki rumah sendiri, tapi di sisi lain, beban finansial yang harus ditanggung membuat mimpi ini terasa semakin jauh.

Di tengah segala keterbatasan itu, kaum menengah juga dihadapkan pada tekanan sosial yang tidak kalah berat. Gaya hidup yang terlihat mapan harus dipertahankan, meskipun kenyataannya tidak seindah itu. Media sosial menjadi salah satu pemicu utama, di mana setiap orang seolah-olah berlomba-lomba untuk menunjukkan kehidupan yang sukses dan glamor.

"Kadang kita merasa harus mengikuti tren, padahal uang sudah pas-pasan. Tapi kalau tidak ikut, rasanya ketinggalan zaman," ungkap seorang pekerja yang merasa terjebak dalam siklus konsumsi yang tidak berkesudahan.

Tekanan ini membuat banyak kaum menengah terjebak dalam gaya hidup yang sebenarnya di luar kemampuan mereka. Mereka membeli barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan, hanya untuk menjaga citra di mata orang lain. Pada akhirnya, ini hanya menambah beban finansial yang harus mereka tanggung.

Jadi, di mana posisi kaum menengah Indonesia saat ini? Apakah mereka benar-benar kuat, atau justru semakin rentan di tengah perubahan ekonomi yang tidak menentu?

Kenyataannya, kaum menengah Indonesia berada dalam posisi yang sulit. Mereka mungkin terlihat mapan di permukaan, tapi di balik itu, ada banyak tekanan dan ketidakpastian yang harus dihadapi setiap hari. Pendapatan yang terkikis inflasi, beban kredit, biaya pendidikan dan kesehatan yang terus naik, hingga tekanan sosial yang tidak kalah besar, semuanya membuat kehidupan kaum menengah tidak semudah yang dibayangkan.

Hari ini, kaum menengah mungkin masih bisa bertahan. Tapi, jika kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin mereka akan terjerumus ke dalam kelas yang lebih rendah. Jika tidak ada perubahan signifikan dalam kebijakan ekonomi dan sosial, kaum menengah Indonesia bisa saja hanya tinggal kenangan, digantikan oleh kelas yang lebih rentan dan tidak berdaya.

Akhirnya, pertanyaan yang harus kita renungkan adalah: apakah kita hanya akan diam dan menunggu mereka jatuh, atau kita akan berbuat sesuatu untuk memperkuat mereka? Karena, jika kaum menengah runtuh, perekonomian kita juga akan ikut runtuh. Dan saat itu terjadi, siapa yang akan menanggung bebannya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun