"Setiap kali gaji naik, harga barang juga ikut naik. Ujung-ujungnya, tidak ada bedanya," ungkap seorang pegawai yang harus memutar otak agar gajinya cukup hingga akhir bulan.
Fenomena ini menjadi bukti bahwa daya beli kaum menengah sebenarnya semakin menurun. Mereka terjebak dalam lingkaran setan di mana penghasilan yang seharusnya cukup untuk hidup nyaman, justru habis untuk menutupi kebutuhan dasar.Â
Akibatnya, banyak dari mereka yang terpaksa mengurangi pengeluaran untuk hal-hal yang dianggap tidak esensial, seperti hiburan, rekreasi, atau investasi.
Untuk bisa tetap bertahan, banyak kaum menengah yang akhirnya mengandalkan kredit. Mulai dari kartu kredit, kredit kendaraan bermotor, hingga kredit pemilikan rumah (KPR), semua menjadi solusi instan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tapi, apakah ini benar-benar solusi atau justru menambah beban?
"Kredit itu seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, membantu kita membeli barang yang kita butuhkan. Tapi di sisi lain, bisa jadi jerat yang membuat kita semakin terpuruk," kata seorang ibu rumah tangga yang terpaksa harus memutar otak untuk membayar cicilan setiap bulan.
Kondisi ini membuat kaum menengah seolah-olah hidup dalam utang. Mereka terus-menerus harus membayar cicilan, dan sedikit saja ada masalah, seperti kehilangan pekerjaan atau sakit, maka semuanya bisa berantakan.Â
Tidak heran jika banyak yang merasa bahwa mereka hidup dalam tekanan, meskipun secara kasat mata terlihat nyaman.
Dua hal yang sering kali dianggap sebagai penentu kesejahteraan adalah pendidikan dan kesehatan. Bagi kaum menengah, memastikan anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang baik dan akses kesehatan yang memadai adalah prioritas utama. Namun, biaya untuk kedua hal ini semakin hari semakin membengkak.
"Biaya sekolah sekarang mahal sekali, belum lagi kalau anak sakit. Asuransi kesehatan juga tidak sepenuhnya menanggung biaya, jadi tetap saja harus keluar uang banyak," ujar seorang ayah yang setiap bulan harus menyisihkan sebagian besar penghasilannya untuk membayar biaya pendidikan dan kesehatan.
Di sisi lain, kualitas layanan pendidikan dan kesehatan di Indonesia masih jauh dari ideal. Banyak kaum menengah yang merasa bahwa mereka harus membayar mahal untuk sesuatu yang sebenarnya belum memadai.Â
Akibatnya, mereka terpaksa harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk mencari layanan yang lebih baik, baik itu untuk pendidikan di sekolah swasta atau layanan kesehatan di rumah sakit swasta.