Mohon tunggu...
yasser fauzan
yasser fauzan Mohon Tunggu... Nelayan - Nelayan

Botak, senang baca, belajar nulis dan masih "timbul tenggelam"

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kawan Lama di Makasar (Sekedar Bercerita-Habis)

30 Desember 2009   15:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:42 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Perempuan bernama Senna tadi keluar dari balik tirai ruang tengah rumahnya. Dia terlihat membawa sebuah piring berisi pisang goreng.

"wadouw.. pisang goreng" pikirku dengan sedikit kecewa karena mengharapkan kue Pallu Butung yang keluar.

"dimana-mana juga bisa dapat barang ini" bisik hati nakal ku.

"tak apa-apa lah, rejeki kan harus selalu disyukuri" hati baikku buru-buru menimpali.

Percakapan dengan kawan ku si juragan becak dihentikan oleh sepiring pisang goreng yang sepertinya masih panas. Sambil mengambil posisi untuk duduk dan bergabung dengan kami, Senna mempersilahkan kami untuk mencicipi hidangannya. Tanpa malu-malu, langsung saja kusambar sepotong pisang goreng tadi. Ah, benar, ternyata masih panas. Karena terlanjur sudah kugigit dan ternyata masih panas, kuletakkan kembali pisang goreng yang tak jadi putus karena gigitanku itu di piringnya.

"hehe.. masih panas" kata ku sambil nyengar-nyegir kemudian minum kopi untuk menghilangkan perihnya di lidah.

"oo.. tidak apa-apa, nanti dingin sedikit baru dimakan lagi itu pisang" kata Senna sambil tersenyum

"biasa ji itu memang kalau yasser, dek. sudah putus mi itu urat malunya" sambung kawan ku seolah-olah membela diriku.

Tanpa mempedulikan penilaian isrti kawan ku itu, aku pun melanjutkan pertanyaan ku yang terputus oleh iklan pisang goreng tadi.

"daeng, kenapa tadi kau bilang bersyukur anak mu perempuan? untung saya saja yang dengar".

"Bagaimana kalau malaikat yang dengar, lalu dia sampaikan kepada Tuhan, bisa-bisa Dia tersinggung" lanjutku lagi.

"Saya yaking Tuhang tidak tersinggung ji, karena sejak anakku pun belum lahir, Tuahang kasi ijing ji untuk ku nikahi Senna" jawab teman ku itu, masih dengan dialek makassarnya yang kelebihan vitamin "G".

"Dulu waktu ku kuliah di IAIN, Bapaknya Inna ini langganan ku, dia baek, suka membantu. Dia juga selalu bantu mengetik kalau terlalu banyak tugas kuliah" Senna istri kawan ku itu menambahkan

"Waduh, ternyata saya juga punya andil" kata ku dalam hati. Soalnya yang mengajari kawan ku ini  mengetik menggunakan komputer adalah saya.

"Hehehe.. utang budi lo bro" masih dalam hati.

"Karena selalu sama-sama dan yang saya liat dia juga selalu ikhlas kalau menolong siapa pun, akhirnya saya senang sama *bapaknya" lanjut Senna.

"Nah, pas waktu ku lamar pertama, orang tua na Senna menolak" sergap kawan ku.

"Mereka minta uang panaik (mahar) 50 juta, mahal sekali to" lanjutnya dan menurut saya sama sekali tidak nyambung dengan pertanyaan ku.

"Apa lagi saya cuma lulusang SMA, tukang becak anak pensiunang tentara ji kasiang, dari mana bisa ku dapat uang banyak begitu" keluh kawan ku itu.

Tiba-tiba Senna berdiri dan meninggalkan kami tanpa pamit karena mendengarkan tangisan Inna anak mereka dari ruang tengah rumahnya. Saya pun maklum.

"oo.. jadi karena itu daeng berani menghamili Senna kah?" tanya ku, ikut-ikutan terjebak dengan penjelasan panjang lebar mereka yang gak nyambung dengan pertanyaan ku yang sedari tadi.

Kawan ku itu cuma mengangguk pertanda meng-iya-kan.

"Saya cuma nda mau anakku nanti mengulang i apa yang pernah ku biking ke Senna" jawab kawan ku itu. Dan langsung menambahkan,

"Kalau laki-laki, harus disediakang uang panaik banyak-banyak. Kalau sekolah ji baek-baek dan  bisa ji dibiayai, nda apa-apa ji"

Sambil mendengar alasan kawan ku itu, saya mengambil kembali pisang goreng yang telah kugigit tadi dan memakannya persis di bekas gigitan ku tadi. Dengan mulut penuh, saya pun mencoba menambahkan

"Tapi kan sudah begitu memang adat bugis makassar, harus sedia uang banyak kalau mau melamar"

"iyyo.. kalau kita mampu ji" kawanku menimpali

"Tapi ko liat mi sekarang, Becakku saja tambah kurang ji. Apalagi banyak mi daerah dilarang becak beroperasi di sini" keluh kawan ku.

"Belum pi lagi, banyak anak-anak muda sekarang yang berhenti sekolah dan jadi buruh bangunang gara-gara tambah mahal ki biaya na" kesahnya pun berlanjut.

"oo.. begitu ya.." jawab ku tanpa mau mendengar keluh kesah lagi.

Saya pun mengalihkan pembicaraan dengan kawan ku ke tema yang lain sampai akhirnya berpamitan dengan mereka.

Dalam perjalanan meninggalkan rumah kawan ku itu, saya menyadari bahwa betapa berubahnya kota Makassar ini. Namun adat memperjualbelikan anak perempuan mereka atas nama pernikahan masih tetap eksis dan bahkan bisa dijadikan sebuah komoditas unggulan. Hahha..

*bapaknya = panggilan Senna kepada kawan ku, ayah dari Inna anak mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun