"Saya cuma nda mau anakku nanti mengulang i apa yang pernah ku biking ke Senna" jawab kawan ku itu. Dan langsung menambahkan,
"Kalau laki-laki, harus disediakang uang panaik banyak-banyak. Kalau sekolah ji baek-baek dan bisa ji dibiayai, nda apa-apa ji"
Sambil mendengar alasan kawan ku itu, saya mengambil kembali pisang goreng yang telah kugigit tadi dan memakannya persis di bekas gigitan ku tadi. Dengan mulut penuh, saya pun mencoba menambahkan
"Tapi kan sudah begitu memang adat bugis makassar, harus sedia uang banyak kalau mau melamar"
"iyyo.. kalau kita mampu ji" kawanku menimpali
"Tapi ko liat mi sekarang, Becakku saja tambah kurang ji. Apalagi banyak mi daerah dilarang becak beroperasi di sini" keluh kawan ku.
"Belum pi lagi, banyak anak-anak muda sekarang yang berhenti sekolah dan jadi buruh bangunang gara-gara tambah mahal ki biaya na" kesahnya pun berlanjut.
"oo.. begitu ya.." jawab ku tanpa mau mendengar keluh kesah lagi.
Saya pun mengalihkan pembicaraan dengan kawan ku ke tema yang lain sampai akhirnya berpamitan dengan mereka.
Dalam perjalanan meninggalkan rumah kawan ku itu, saya menyadari bahwa betapa berubahnya kota Makassar ini. Namun adat memperjualbelikan anak perempuan mereka atas nama pernikahan masih tetap eksis dan bahkan bisa dijadikan sebuah komoditas unggulan. Hahha..
*bapaknya = panggilan Senna kepada kawan ku, ayah dari Inna anak mereka.