Mohon tunggu...
Yasrul Marjulyadin
Yasrul Marjulyadin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Opini

Seorang yang suka menyendiri dan tenggelam dalam pikirannya. menghabiskan watu dengan membaca buku dan bermain games serta mengajar peserta didik. Tertarik pada tulisan bertema agama, filsafat, tasawuf dan ilmu pengetahuan lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Macam Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi dalam Islam

30 Desember 2023   17:19 Diperbarui: 30 Desember 2023   20:33 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun baru adalah momentum dimana berakhirnya hitungan 1 tahun dan menandai hitungan tahun selanjutnya. Pada momen tahun baru biasanya umat manusia di dunia melaksanakan perayaan-perayaan untuk menyambut tahun yang akan datang dengan suka cita, tak terkecuali di Indonesia. Sama halnya seperti mayoritas negara-negara di dunia, Indonesia mengadopsi penanggalan nasional menggunakan hitungan kalender masehi, gregorian atau syamsiyah.

Perayaan tahun baru biasanya diisi dengan berkumpul bersama keluaraga, kolega ataupun orang tercinta. Menyaksikan ragam pertunjukkan seperti kembang api, konser musik, hingga pentas budaya.

Meski begitu, Perayaan tahun baru tidak serta merta diterima seluruh lapisan masyarakat Indonesia terutama umat Islam. Bagi umat Islam perayaan tahun baru selalu menjadi polemik dan menjadi tema pembahasan hampir setiap tahunnya. Masih banyak dari kalangan muslim yang mempertanyakan perihal hukum merayakan tahun baru serta mengucapkan selamat tahun baru. Lantas bagaimana kajian Islam memandangnya?

Konsep Penanggalan Masehi

Penanggalan kalender Gregorian atau biasa disebut masehi dihitung sesuai dengan revolusi bumi yakni perputaran bumi mengelilingi matahari. Oleh karena itu, dalam dunia arab kalender masehi disebut juga sebagai kalender syamsiyah atau matahari. Berbeda dengan kalender hijriyah yang dihitung berdasarkan revolusi bulan yakni perputaran bulan mengelilingi bumi.

Pada kalender masehi hitungan satu hari didasarkan pada jumlah waktu yang diperlukan untuk rotasi bumi (perputaran bumi pada porosnya). Jumlah waktu yang diperlukan untuk revolusi bumi adalah satu tahuh. Satu tahun revolusi sama dengan 365,25 hari. Pada masa pemerintahan Julius Caesar dibulatkan satu tahun 365 hari dan sisa 0,25 selama empat tahun ditambahkan ke bulan Februari yang hanya memiliki 28 hari.

Sejarah Singkat Penanggalan Masehi

Dilansir dari Gramedia.com Kalender Gregorian atau masehi diperkenalkan pertama kali pada tahun 1582. Kalender Gregorian ditemukan oleh ahli fisika kekaisaran Romawi yaitu Aloysius Lilius dan astronom kekaisaran Romawi yaitu Christoper Clavius yang disetujui oleh Paus Gregorius XIII untuk menggantikan kalender Julius yang melenceng dari perhitungan tanggal matahari sebanyak 10 hari.

Sistem penanggalan ini diterima dengan baik di negara-negara penganut katolik. Diantaranya Italia, Spanyol, Portugal. Akhirya system penanggalan ini menjadi system penanggalan Internasional hingga saat ini.

Polemik Perayaan Tahun Baru

Akar masalah terjadinya polemik tentang perayaan tahun baru dikarenakan adanya dua pandangan berbeda mengenai fatwa hukumnya. Setidaknya ada dua fatwa mengenai hukum perayaan tahun baru yakni haram dan mubah (boleh). Lalu apa yang melatarbelakangi perbedaan hukum tersebut?

Fatwa Haram

Fatwa ulama yang mengharamkannya perayaan dan pengucapan selamat tahun baru berlandaskan kepada hadis Rasulullah SAW yang diriwatkan Imam Ahmad:

 

Artinya : "Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari kaum tersebut".

Ulama yang mengharamkan perayaan tahun baru menganggap ada unsur tasyabbuh atau menyerupai umat-umat Nonmuslim. Karena adat istiadat perayaan tahun baru masehi bukan lahir dari budaya umat Islam. Lebih ekstrim lagi ada Sebagian kelompok bermodalkan hadis ini langsung menganggap kafir umat Islam yang merayakan tahun baru.

Para ulama yang mengharamkan perayaan tahun baru setidaknya memilik pola piker idealis. Implikasi dari pola pikir idealis dalam beragama biasanya tidak mau menerima dilema antara dua hal negative. Misalnya, pada kenyataanya mayoritas masyarakat Indonesia mearyakan tahun baru, namun karena tahun baru dianggap bukan merupakan kebudayaan Islam dan dapat menjadi jembatan kemaksiatan maka pada akhirnya fatwa haram berlaku bagi segala jenis perbuatan yang menjadi ceremony untuk perayaan tahun baru. Bahkan walaupun kegiatan itu berupa istighosah, dzikir, maupun doa bersama.

Fatwa Mubah (Boleh)

Dari pelbagai literatur dan referensi yang dicari, setidaknya adannya kebolehan dalam merayakan tahun baru selama tidak diisi dengan kegiatan-kegitan buruk, maksiat dan menjurus kepada dosa-dosa. Hal itu senada dengan penyataan dari guru besar al-Azhar sekaligus mufti agung Mesir Syekh Atthyah Shaqr r.a. dalam kompilasi fatwa ulama al-Azhar:

" " " " 1884 1917 . .

Artinya:"Kaisar Rusia, Alexander III pernah mengutus seorang tukang emas 'Karl Fabraj' guna membuat topi baja untuk istrinya pada tahun 1884 M. Proses pembuatannya berlangsung selama 6 bulan. Topi itu ditempeli batu akik dan permata. Warna putihnya dari perak dan warna kuningnya dari emas. Di setiap tahunnya ia menghadiahkan topi serupa kepada istrinya hingga kemudian istrinya ditumbangkan oleh pemberontakan kelompok komunisme pada tahun 1917 M. Mulanya acara ini merupakan suatu perayaan 'Sham Ennesim' (Festival nasional Mesir yang menandai dimulainya musim semi) yang merupakan tradisi lokal Mesir lantas berubah menjadi tradisi keagamaan. Lalu bagaimanakah hukum memperingati dan merayakannya bagi seorang muslim?

Tak diragukan lagi bahwa bersenang-senang dengan keindahan hidup yakni makan, minum dan membersihkan diri merupakan sesuatu yang diperbolehkan selama masih selaras dengan syariat, tidak mengandung unsur kemaksiatan, tidak merusak kehormatan, dan bukan berangkat dari akidah yang rusak." (Wizarah Al-Auqof Al-Mishriyyah, Fatawa Al-Azhar, juz X, halaman 311).

Memang tidak secara tekstual ditulis kata "perayaan tahun baru", namun jika kita mengambil intisari dari pernyataan beliau sejatinya segala jenis perayaan yang seperti tahun baru, hari kemerdekaan dsb, itu bukanlah perayaan milik suatu agama akan tetapi hanya adat istiadat.

Para ulama yang membolehkan perayaan tahun baru memiliki pola pikir realistis dinamis dimana mereka berusaha menemukan alternatif terbaik di antara kondisi yang serba negatif. Apakah membiarkan umat Islam merayakan tahun baru Masehi di tempat-tempat umum yang berpotensi terjadi kemaksiatan, setidaknya berupa ikhtilath (percampuran lawan jenis non-mahram), ataukah menyediakan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, seperti dzikir dan doa bersama di masjid, mushalla atau sekolah?

Tentu alternatif kedua lebih baik daripada alternatif pertama. Oleh sebab itu, fatwa yang berasal dari pola pikir realistis adalah membolehkan peringatan tahun baru Masehi, asalkan tidak diisi kemaksiatan.

Kesimpulan

Sejatinya pengharaman perayaan tahun baru adalah bentuk dari ihtiyat (Kehatia-hatian) dalam beragama. Dimana para ulama tersebut berusaha menjaga umat Islam agar terhindar dari kemungkinan terburuk yaitu keimanan atau akidah yang bisa rusak.

Namun, bagi para ulama yang memperbolehkan perayaan tahun baru adalah usaha mereka untuk menjaga akidah dan keimanan umat Islam dengan memberikan Solusi terbaik terhadap kultur sosial yang sudah mengakar dengan catatan tidak diisi dengan kemaksiatan.

Maka dari itu, baik kita mengikuti yang haram maupun mubah itu adalah keputusan kita pribadi. Hanya saja sebelum kita mengambil pilihan hukum memang perlu kita ketahui dasar pengambilan dalil dari keputusan hukum tersebut serta jangan sampai kita menyalahkan bahkan mengafirkan saudara kita yang berbeda pandangan.

Meski begitu, alangkah baiknya pergantian tahun ini kita maknai sebagai momentum kita untuk mengevaluasi diri kita menjadi pribadi yang lebih baik, bijaksana, serta meningkatkan kualitas ibadah kita sebagai rasa Syukur kepada Allah swt.

Wallhu'alam bisshawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun