Foto Di bawah ini bukan saya, Dia Ratna Sari Dewi, Â Mahasiswi Ekonomi di Universitas Udayana. Namun dia sudah 4 tahun melakoni pekerjaan sebagai petani. Berbekal Gajet di genggamannya, dia memanfaatkannya untuk belajar benyak soal teknik pertanian dan bisa ahirnya menjadi sukses.
Tuh lihat cekatan kali gadis muda itu memutik rumput liar yang menggangu tanaman kol miliknya. Lalu, dia kayakya terlihat tidak risih sama sekali, padahal kedua tangannya lho terlihat kotor sekali setelah beberes membersihkan kebunnnya itu.
Kebunnya yang terletak di Desa Catur Kintamani, Bali seluas 65 Ha penuh sesak dengan aneka sayur mayuran buah-buahan. Dan dari hasil pertanian di atas lahan yang dia  sewa itu, kemudian dikomersialkan kembali lewat kesaktian media sosial yang tersemat di Gajet miliknya ke pasar swalayan di kota.
Duh, tidak rugi deh, atas kemauannya dan kesuksesannya itu, dia pernah dinobatkan menjadi 10 besar duta petani muda Indonesia di tahun 2018.Â
"Saya harap akan ada generasi muda lainnya yang ikut bertani, peluangnya sangat besar," Ungkap Ratna Sari Dewi.
Â
Saya yakin sedikit Millenal memiliki kemauan seperti kisah di atas ya? Namun kisah tadi, memberikan inspirasi jika ada celah kok buat generasi muda maksimalkan Gajet yang super pintar itu, selain hanya digunakan ber-medsos ria.
Utamanya, kita bisa saja mempraktekan satu dari banyak manfaat tutorial yang betebaran di Media sosial, seperti tehnik pertanian yang praktis dan modern.
Namun masalahnya apakah Millenial mau untuk terjun ke lapangan, bermandi keringat karena terpapar sengatan sinar matahari? Terlebih hanya untuk menghasilkan produk pertanian yang bernilai 'murah' untuk membiayai masa depan nantinya?
Gajet, Pertanian dan Millenial!
Masih hangat, kenaikan harga bawang putih yang mencapai Rp 100 ribu/Kilogram menjelang Ramadhan beberapa pekan lalu-kan?
Foto Bawang-putih lalu menjadi viral terpampang di banyak media sosial, dan para Nitizen yang dominasi kaum Millenial hanya bisa ber-tweet menuntut Pemerintah untuk segera menurunkan harganya segera.
Padahal  dengan Gajet, kita dengan cepat kita bisa lebih peduli dan mengerti, tantangan, mengapa harga bawang putih bisa-bisanya semahal itu.
Coba kita browsing! Selain masalah rantai-distribusi bawang-putih yang panjang oleh para pedagang. Harus kita akui, produksi bawang putih di tanah air juga memang masih belum optimal!Â
Nah, menurut Dwi Andres Santoso, seorang Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB). Idealnya bawang putih ditanam di dataran ketinggian 800-1300 meter di permukaan laut. Karena bawang putih sangat menginginkan suhu rendah. Dengan sinar matahari berdurasi lama, suhu panas akan membantu proses perkembangan umbi bawang putih untuk menggembung besar.
Sinar matahari di negara Tropis seperti Indonesia terjadi pada durasi 8-10 jam/hari. Sedangkan idealnya bawang putih yang tumbuh subur di daerah sub-tropis seperti Cina memancarkan sinar matahari 17 jam perhari.
Nah, Faktor paparan cahaya matahari itulah yang telah menjadi penghambat produksi bawang putih nasional, karena ukuran umbi bawangnya kecil. Faktor itu menyebabkan produktivitas bawang putih di Indonesia rata-rata 8 ton/hektare, jauh tertinggal oleh Cina yang mencapai 30 ton/Hektare.
Klimak dari permasalahan tadi, menjadikan ongkos produksi tanam bawang putih nasional akan menjadi dua kali lipat lebih mahal dibanding hanya impor dari Cina. Ya mendingan impor saja kan logikanya?
Dan akhirnya petani kita menyerah untuk bertanam komoditas pertanian yang umum ditanam. Sehingga produknya komoditasnya banjir di pasaran tatkala panen bersamaan, membuat harga komoditas tadi di tingkat petani menjadi murah.
Kata kuncinya, kita memang kalah bersaing-kan dalam SDM pertanian, terutama para Millenial yang mau menjadi petani modern, berdasarkan ilmu pengetahuan untuk memecahkan tantangan itu.
Dari situ, kita bisa ngeh, jika semua itu perlu proses belajar dari sekarang, lewat apa saja! Ya bisa belajar dari Gajet kok.
Impor, pekerjaan rumah besar!
Masih soal bawang putih. Kementrian Pertanian mencatat tren produksi bawang putih, naik-turun di medio 2013-2016. Puncaknya 2016, produksinya 21.150 ton. Di 2017 turun 19.510 ton.
Lahan pertanian bawang putih di Indonesia juga susut. Tahun 2014 luas lahan panen mencapai 1.913 Ha menyusut dibanding 2013 yang mencapai 2.479 Ha.
Nah, di 2017 lahan panen bawang putih tercatat 2.146 Ha. Jika dibanding-bandingkan dengan negara Cina pada tahun 2014 lahan pertanian untuk produksi bawang putih sudah mencapai 785.452 Ha.
Artinya? Luas areal pertanian  mempengaruhi tingkat produktivitas bawang putih. Akibatnya, di tahun 2018 lalu, sebanyak 97% kebutuhan bawang putih nasional bisa dipenuhi dengan melakukan impor 587.942 ton. Angka itu terus naik semenjak tahun 2016. Kedepan bisa saja lebih besar lagi!
Nah, kita bisa katakan sebenarnya Indonesai hanya mampu memproduksi 4% dari total kebutuhan bawang putih nasional setiap tahunnya. Karena produksi bawang putih kita minim kulitas maupun kuantitasnya.
Hambatan industri Pertanian di Indonesia!
Secuil kisah sang bawang-putih diatas bisa saja menggambarkan problematika pertanian kita secara umum. Permasalahan seriusnya yang bisa kita tangkap, yakni ada dua, susutnya lahan pertanian dan juga pelaku pertanian/re-generasi petani.
Nah, berbicara soal regenerasi petani. Saya punya cerita, memiliki kolega yang dahulu berprofesi juga sebagai petani. Mereka petani di desa Bandang, Samarinda, Kalimantan Timur. Dahulu di tahun 2000-an masyarakat di desa ini giat kali bertani padi, dan semua daerah lembahnya penuh sesak dengan areal persawahan penghasil padi.
Namun karaktersiktik geologis daerah Kalimantan berkata lain, di bawah tanah areal persawahan mereka yang subur itu, terkandung pula bahan mineral batubara dan masuk ke dalam lahan konsesi perusahaan batubara.
Logikanya lantas berkata, ketika kebanyakan warga Desa Bandang rela menukarkan areal persawahannya untuk materi ganti rugi eksploitasi batubara. Dan atas kompensasi itu, warga bisa beranjak pada tingat ekonomi yang layak.
Dengan uang kompensasi tanah miliknya, mereka bisa beli apa saja yang mereka mau, seperti menjalankan ibadah haji yang sulit dilakukan tatkala mereka hanya seorang petani saja.
Dan akhirnya profesi petani ditukar dengan profesi karyawan perusahan batubara di areal tempat tinggalnya. Seiringnya berjalannya waktu, dimana kandungan batubara tergerus, lahan mereka pun kini menjadi hamparan lubang tambang yang tak berguna.
Dan mereka-pun akhirnya harus rela pindah ke daerah lainnya, untuk mengadu nasib pada profesi lain. Dan meninggalkan profesi petani untuk anak cucu mereka. Disinilah mata rantai regenerasi petani itu benar-benar terputus.
Nah , ternyata kisah bawang putih dan cerita petani di Samarinda  klop.
Realita penyusutan lahan pertanian selalu berhubungan dengan susutnya petani benar adanya. Membuat faktor lemahnya produktivitas pertanian. Padahal di masa depan jumlah produksi akan menuntut lebih dari sekarang.
Solusi regenerasi petani
Dari paparan awam saya di atas, saya hanya sedikit menitipkan solusi. Menurut saya Pemerintah harusnya bisa memperhatikan tiga hal ini :
- Petakan lahan pertanian!
Penataan ruang areal pertanian ini sangat penting, agar tidak tumpang tindih atas banyak kepentingan. Jika suatu wilayah sudah menjadi lumbung pertanian, satu jenis komoditas. Pemerintah harusnya bisa memproteksi lahan itu dari kepentingan apapun, seperti peruntukan daerah pengembangan wisata, tambang, industri, Â perumahan dengan alasan-apapun.
- Menggalakkan sekolah vokasi beroreintasi wiraswasta Agribisnis
Saya berfikir, ketika suatu wilayah pertanian telah terbentuk karakter pertanian sebagai pusat ekonominya. Pemerintah harusnya hadir untuk membangun sekolah kejuruan/vokasi di bidang pertanian di tempat itu.
Dan berorientasi pada wiraswasta agribisnis, yang bisa memberikan motivasi pengetahuan kepada generasi muda para petani di daerah itu.
Hal itu saya pikir, bisa membuat kecintaan anak-cucu petani pada dunia pertanian bertambah, karena ilmu pengetahuan yang mereka dapat akan memberikan pemahaman baru terutama tehnik pertanian terbaru, yang bisa membuat hasil pertanian meningkat dan mendongkrak ekonomi keluarga mereka.
- Pengangkatan tenaga PNS skill teknis, yang berlatarbelakang petani!
Sudah menjadi rahasia umum, jika para petani menginginkan anaknya menjadi orang sukses dengan titel pendidikan tinggi. Singkatnya, mereka berharap anaknya bisa kerja enak seperti pegawai negeri.
Nah dengan kebijakan ini, para petani yang telah memperoleh gelar sarjana pertanian akan balik kampung, dan membangun desanya dengan dengan inovasi, mengantarkan bahasa kebijakan pemerintah. Entah modernisasi teknik dan juga alat pertanian. Dengan basic sebagai keluarga petani, pekerjaan itu akan lebih efektif pada passion mereka.
Gerakan nyata Milleneal melanjutkan Regeneras petani.
Ah, saya sadar sih, saya masih hijau untuk disandingkan dengan SDM di Pemerintahan dalam membuat kebijakan Pertanian saat ini.
Namun, sebagai generasi muda langsung sajalah melakukan hal kecil namun nyata. Minimal, bisa membangun kepedulian  masalah pertanian-kan? Meskipun, terhambat pula oleh dua faktor tadi, areal pertanian dan juga SDM untuk mempraktekannya.
Namun jangan kuatir, kan ada Gajet kita!Â
Caranya, dengan bercocok tanam di pekarangan rumah yang sempit dengan tehnik hidroponik. Kebetulan saya telah memulainya semenjak 2 tahun lalu.
Tehnik Hidroponik mudah dilakukan, dan tidak repot masalah lahan luas. Memulainya, pakai saja bahan bekas dan menggantungkannya di tembok. Dan tutorialnya bisa kita cari lewatGajet kita.Â
Tehnik pertama, bisa hidroponik NFT (nutrient Film Tehnik) yang banyak digunakan orang. Yakni menggunakan pipa talang dan pompa. Melakukannya hanya melubangi pipa itu untuk bibit tanaman, diletakkan pada penampung. Alirkan air dengan pompa sebagai nutrien tumbuhan.
Tapiii.. memerlukan keuletan dalam memberikan nutrisi, intensitas cahaya dan suhu di sekitar tanaman tumbuh. Kita bisa mencoba menanam aneka sayur mayur macam sawi putih, kangkung, selada. Dan sebagai pelengkap tanaman tomat dan lombok yang juga penting.
Kedua, tehik hidroponik SWICK, yang menggunakan botol bekas yang dibagi dua bagian. Lubangi tutup botol. Gabungkan keduanya dengan cara membalik bagian moncong botol menghadap ke bawah.
Pasang sumbu kompor sebagai pengantar media air. Tanam bibit tanaman yang dimaui dengan pada bagian botol di atasnya yang telah terisi tanah. Bagian bawahnya jangan lupa diberi air nutrisi yang bisa dibeli di toko pertanian.
Nah dengan langkah nyata nan sederhana, menjadikan hal kecil tapi nyata, dan bisa menjadi mata-rantai baru Re-generasi di kalangan Millenial yang nyata dan mewujudkan Swasembada pangan sendiri di rumah! Iyakan?
Referensi : satu, dua, tiga, empat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H