Sejak beasiswa dengan persyaratan hafal Alquran ramai dibincangkan di tahun 2016, kini justru tren beasiswa tersebut semakin banyak diadopsi dan diterapkan oleh berbagai institusi pendidikan tanah air.Â
Tahun 2016, internet diramaikan oleh tulisan kritikan terhadap beasiswa hafalan Alquran ini, artikel-artikel tersebut dipublikasikan oleh berbagai media massa hingga situs website pribadi. Namun, rupanya kritikan-kritikan tersebut tak menghentikan kepopuleran beasiswa tersebut.
Tahun 2016, yaitu awal mula persyaratan beasiswa ini menjadi bahan perdebatan, beredar surat dari rektorat Universitas Padjadjaran yang ditujukan kepada pihak Dekanat mengenai beasiswa dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Surat tersebut berisikan penjelasan mengenai beasiswa yang tercantum di dalamnya bahwa hafal Alquran merupakan salah satu dari persyaratan penerima beasiswa selain dari prestasi bidang olahraga, seni, budaya, sains, teknologi dan komunikasi.Â
Hal ini yang pertama kali memantik perdebatan karena pemerintah yang seharusnya tidak menunjukkan sikap diskriminatif justru mengeluarkan persyaratan beasiswa yang dinilai mengeksklusifkan satu agama tertentu.Â
Hingga kini, beasiswa bersyaratkan hafal Alquran masih ramai digunakan oleh berbagai perguruan tinggi. Diantaranya adalah Institut Sepuluh November (ITS), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Andalas, Universitas Airlangga, dan masih banyak lagi.Â
Sangat disayangkan, perguruan tinggi yang disebutkan adalah perguruan tinggi negeri umum yang mahasiswanya berasal dari berbagai golongan agama, ras, dan budaya berbeda yang seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama dan tidak ada golongan yang dispesialkan.Â
Beasiswa diartikan sebagai bentuk penghargaan yang diberikan kepada individu agar dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Murniasih, 2009).Â
Beasiswa juga merupakan pemberian bantuan berupa keuangan yang diberikan kepada perorangan yang bertujuan untuk digunakan demi keberlangsungan pendidikan yang ditempuh (Lahinta, 2009). Disimpulkan bahwa beasiswa adalah bentuk penghargaan dan juga bantuan yang ditujukan untuk membantu keberlangsungan pendidikan pelajar atau mahasiswa.Â
Tujuan beasiswa yaitu untuk memberikan bantuan kepada pelajar atau mahasiswa, selain itu, tujuan juga dapat berbeda sesuai dengan institusi atau kelompok yang mengadakan beasiswa terkait.Â
Dalam buku "Pemutus Mata Rantai Kemiskinan" (2021), Abdul Kahar, penulis sekaligus Kepala Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan (Puslapdik) Kemdikbud Ristek, menuliskan bahwa pemberian beasiswa oleh pemerintah adalah upaya pemerintah dalam meningkatkan sumber daya manusia unggul yang ujungnya berkontribusi terhadap menurunnya angka kemiskinan sehingga kemakmuran rakyat terwujud, yang artinya pemerintah mengadakan beasiswa dengan tujuan pembangunan negara.Â
Pertanyaannya adalah apa hubungan kemampuan menghafal dengan pembangunan negara? Mengapa pemerintah kemudian memasukkan persyaratan hafal Alquran ke dalam beasiswa berprestasi yang dicanangkannya?
Sebuah asumsi yang dipercaya masyarakat, terutama umat Islam, ialah menghafal Alquran membawa pengaruh terhadap pembentukan karakter dan prestasi. Hal tersebut kemudian dijadikan jawaban atas pertanyaan keterkaitan menghafal Alquran dengan prestasi oleh Asep Hilman, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat masa itu, dalam wawancara tahun 2016 silam dengan pihak BBC Indonesia.Â
Menyelesaikan permasalahan yang bersifat akademik dan berkaitan dengan banyak orang yang beragam, mestinya tidak memakai sebuah asumsi (yang merupakan kepercayaan sebagian orang) sebagai landasan atas sebuah putusan yang menyangkut banyak orang dirasa tidaklah relevan dan pantas.Â
Berbagai penelitian agama yang dilakukan untuk menunjukkan keterikatan menghafal Alquran dengan peningkatan kecerdasan menunjukkan bahwa menghafal Alquran dapat membantu meningkatkan kecerdasan spiritual dan mengembangkan kemampuan kognitif anak. Disebutkan dalam penelitian oleh Dr. Al Qadhi (Syakir, 2014), dokter ahli jiwa Florida Amerika Serikat, bahwa membaca atau mendengarkan Alquran terbukti mendatangkan ketenangan jiwa yang dapat membantu meningkatkan kecerdasan spiritual.
Hal tersebut merupakan penemuan yang baik, tetapi tidak dapat serta merta dijadikan alasan untuk mencanangkan program yang seakan menunjukkan bahwa hanya hafalan spesifik yang dapat meningkatkan kecerdasan dan kemampuan seseorang yang mana tidak ada penelitian yang mengklaim hal tersebut. Sehingga alasan yang digunakan oleh Asep Hilman dalam wawancaranya bersama BBC Indonesia tidaklah relevan.
Tiadakan jika Masih Ada yang Terdiskriminasi!
Pada akhirnya, persyaratan beasiswa hafalan Alquran tetap mengarah kepada perilaku diskriminasi atas agama karena bersifat eksklusif untuk sekelompok masyarakat saja yaitu umat Islam. Banton (dalam Sunarto, 2009: 157) mengemukakan bahwa diskriminasi didefinisikan sebagai perlakuan berbeda terhadap orang yang termasuk dalam kategori tertentu yang dapat mewujudkan jarak sosial.Â
Definisi tersebut sesuai dengan pengadaan syarat beasiswa hafalan Alquran dimana penganut agama selain Islam tidak dapat memenuhi syarat tersebut yang akhirnya menimbulkan ketidakadilan dan kesenjangan karena tidak adanya syarat khusus untuk agama (yang juga jelas diakui oleh negara) lainnya .
Lantas apakah penganut agama lain juga perlu untuk menghafal kitab sucinya masing-masing? Tentu tidak. Di agama Islam sendiri, menghafal Alquran merupakan prestasi yang sudah ada kompetisinya sendiri, tentu hal ini berbeda dari agama lain. Memaksakan menghafal kitab suci masing-masing malah seakan memaksakan untuk membenarkan adanya persyaratan tersebut. Salah satu universitas negeri di Semarang, mencantumkan jalur keagamaan yaitu jalur hafidz dan hafalan alkitab sebagai salah satu persyaratan program beasiswa berprestasinya.Â
Hal ini kurang tepat untuk dilakukan karena terkesan memaksakan adanya persyaratan hafalan Alquran sehingga akhirnya dilakukanlah modifikasi "malas" untuk menutupi perilaku diskriminatif bagi umat agama selain Islam. Â
Seperti halnya dengan perlombaan olahraga. Ketika penyandang difabel tidak dapat mengikuti perlombaan tersebut karena keterbatasan fisik, mereka tidak serta merta dipaksa untuk mengatasi keterbatasan mereka untuk bisa ikut serta, melainkan diciptakanlah ruang eksklusif bagi difabel yang terinklusifkan yaitu diadakannya perlombaan olahraga bagi penyandang difabel yang aturan dan tata caranya sudah disesuaikan dan dirombak ulang. Apakah perlombaan lari bagi difabel memaksakan pesertanya untuk menggunakan kaki palsu? Tentu tidak karena bukan peserta yang menyesuaikan melainkan aturan dan tata cara perlombaannya.
Penamaan beasiswa yang menerapkan persyaratan hafal Alquran di sejumlah perguruan tinggi negeri beberapa diantaranya adalah Seleksi Bibit Unggul Berprestasi (SBUB) di Universitas Diponegoro dan jalur Prestasi Internasional dan Nasional (PIN) di Institut Pertanian Bogor, penamaan tersebut menunjukkan bahwa beasiswa dimaksudkan untuk murid berprestasi. Adanya persyaratan yang berhubungan dengan prestasi keagamaan seharusnya tidak hanya ditujukan untuk agama tertentu. Di sinilah diskriminasi dan ketidakadilan terlihat, tiap agama tentu memiliki keterampilan dan kemampuan masing-masing yang juga dapat disebut prestasi. Oleh karena itu, perlu dikaji kembali sehingga persyaratan prestasi keagamaan bagi agama lainnya juga dapat diterapkan. Â
Beasiswa dengan persyaratan hafalan Alquran ini tepat jika diterapkan di lingkungan tertentu yang artinya tidak ada unsur diskriminasi dan tidak bersifat eksklusif. Lingkungan yang dimaksud adalah pelaku-pelaku yang berkaitan seperti pemberi dana atau donatur beasiswa, institut atau lembaga yang menerapkan beasiswa, dan kelompok yang menjadi target dan sasaran beasiswa.Â
Contohnya jika diterapkan di institut pendidikan khusus agama islam, seperti di Universitas Islam Indonesia yang mana seluruh calon mahasiswa dan mahasiswanya merupakan penganut agama Islam sehingga setiap orang memiliki kesempatan yang sama dan setara maka persyaratan tersebut tidaklah bersifat diskriminatif dan eksklusif. Di UII sendiri, jalur untuk hafalan Alquran dibedakan yaitu jalur seleksi Penelusuran Hafiz Al-Quran (PHA), bukan jalur berprestasi biasa seperti di perguruan tinggi lainnya.Â
Tidak hanya perguruan tinggi, pondok pesantren dan madrasah juga sudah banyak yang mengadakan beasiswa hafalan Alquran yang biasanya dana beasiswa tersebut bersumber dari yayasan atau komunitas agama Islam, bukan pemerintah.Â
Intinya, beasiswa dengan persyaratan hafalan Alquran, terutama yang diadakan untuk masyarakat umum, masih sangat perlu untuk dibenahi. Banyak hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan program beasiswa dengan syarat tersebut. Jika belum menemukan cara untuk memberikan kesempatan yang sama kepada pelajar nonislam dengan mengadakan persyaratan yang setara, lebih baik persyaratan hafal Alquran pada beasiswa berprestasi yang terbuka untuk umum dihapuskan. Hal ini demi menghindari adanya perselisihan, kesalahpahaman, kesenjangan sosial, dan terutama sikap diskriminatif.
Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keragamannya, pemerintah seharusnya menjadi payung bagi seluruh umat beragama bukan malah membuat kesenjangan antar umat beragama. Begitu pun dengan masyarakatnya, sebagai umat beragama dan warga negara Indonesia, penting untuk selalu waspada atas tiap tindakan dan perilaku karena bisa saja tanpa disadari kita melakukan tindakan diskriminatif baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Institut pendidikan baik itu negeri maupun swasta perlu untuk lebih waspada terhadap program yang menyangkut kepentingan orang banyak yang tentunya berasal dari agama, ras, dan budaya yang berbeda.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H