Mohon tunggu...
Yasmina Shofa Az Zahra
Yasmina Shofa Az Zahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran

Mahasiswa berdomisili Bandung dengan ketertarikan pada bidang penulisan dan jurnalistik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Diskriminasi Umat Beragama, Tiadakan Syarat Hafal Alquran di Beasiswa

5 Januari 2023   21:21 Diperbarui: 5 Januari 2023   21:34 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Beasiswa (int)

Pertanyaannya adalah apa hubungan kemampuan menghafal dengan pembangunan negara? Mengapa pemerintah kemudian memasukkan persyaratan hafal Alquran ke dalam beasiswa berprestasi yang dicanangkannya?

Sebuah asumsi yang dipercaya masyarakat, terutama umat Islam, ialah menghafal Alquran membawa pengaruh terhadap pembentukan karakter dan prestasi. Hal tersebut kemudian dijadikan jawaban atas pertanyaan keterkaitan menghafal Alquran dengan prestasi oleh Asep Hilman, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat masa itu, dalam wawancara tahun 2016 silam dengan pihak BBC Indonesia. 

Menyelesaikan permasalahan yang bersifat akademik dan berkaitan dengan banyak orang yang beragam, mestinya tidak memakai sebuah asumsi (yang merupakan kepercayaan sebagian orang) sebagai landasan atas sebuah putusan yang menyangkut banyak orang dirasa tidaklah relevan dan pantas. 

Berbagai penelitian agama yang dilakukan untuk menunjukkan keterikatan menghafal Alquran dengan peningkatan kecerdasan menunjukkan bahwa menghafal Alquran dapat membantu meningkatkan kecerdasan spiritual dan mengembangkan kemampuan kognitif anak. Disebutkan dalam penelitian oleh Dr. Al Qadhi (Syakir, 2014), dokter ahli jiwa Florida Amerika Serikat, bahwa membaca atau mendengarkan Alquran terbukti mendatangkan ketenangan jiwa yang dapat membantu meningkatkan kecerdasan spiritual.

Hal tersebut merupakan penemuan yang baik, tetapi tidak dapat serta merta dijadikan alasan untuk mencanangkan program yang seakan menunjukkan bahwa hanya hafalan spesifik yang dapat meningkatkan kecerdasan dan kemampuan seseorang yang mana tidak ada penelitian yang mengklaim hal tersebut. Sehingga alasan yang digunakan oleh Asep Hilman dalam wawancaranya bersama BBC Indonesia tidaklah relevan.

Tiadakan jika Masih Ada yang Terdiskriminasi!

Pada akhirnya, persyaratan beasiswa hafalan Alquran tetap mengarah kepada perilaku diskriminasi atas agama karena bersifat eksklusif untuk sekelompok masyarakat saja yaitu umat Islam. Banton (dalam Sunarto, 2009: 157) mengemukakan bahwa diskriminasi didefinisikan sebagai perlakuan berbeda terhadap orang yang termasuk dalam kategori tertentu yang dapat mewujudkan jarak sosial. 

Definisi tersebut sesuai dengan pengadaan syarat beasiswa hafalan Alquran dimana penganut agama selain Islam tidak dapat memenuhi syarat tersebut yang akhirnya menimbulkan ketidakadilan dan kesenjangan karena tidak adanya syarat khusus untuk agama (yang juga jelas diakui oleh negara) lainnya .

Lantas apakah penganut agama lain juga perlu untuk menghafal kitab sucinya masing-masing? Tentu tidak. Di agama Islam sendiri, menghafal Alquran merupakan prestasi yang sudah ada kompetisinya sendiri, tentu hal ini berbeda dari agama lain. Memaksakan menghafal kitab suci masing-masing malah seakan memaksakan untuk membenarkan adanya persyaratan tersebut. Salah satu universitas negeri di Semarang, mencantumkan jalur keagamaan yaitu jalur hafidz dan hafalan alkitab sebagai salah satu persyaratan program beasiswa berprestasinya. 

Hal ini kurang tepat untuk dilakukan karena terkesan memaksakan adanya persyaratan hafalan Alquran sehingga akhirnya dilakukanlah modifikasi "malas" untuk menutupi perilaku diskriminatif bagi umat agama selain Islam.  

Seperti halnya dengan perlombaan olahraga. Ketika penyandang difabel tidak dapat mengikuti perlombaan tersebut karena keterbatasan fisik, mereka tidak serta merta dipaksa untuk mengatasi keterbatasan mereka untuk bisa ikut serta, melainkan diciptakanlah ruang eksklusif bagi difabel yang terinklusifkan yaitu diadakannya perlombaan olahraga bagi penyandang difabel yang aturan dan tata caranya sudah disesuaikan dan dirombak ulang. Apakah perlombaan lari bagi difabel memaksakan pesertanya untuk menggunakan kaki palsu? Tentu tidak karena bukan peserta yang menyesuaikan melainkan aturan dan tata cara perlombaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun