Mohon tunggu...
ERA SOFIYAH
ERA SOFIYAH Mohon Tunggu... Penulis - AKU ADALAH AKU BUKAN KAMU DIA ATAU MEREKA, KITA ADALAH SATU DAN KAMI BERSAUDARA
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

AKU ADALAH AKU BUKAN KAMU DIA ATAU MEREKA, KITA ADALAH SATU DAN KAMI BERSAUDARA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Keluarga, Surga Literasi Sepanjang Hayat

27 September 2019   11:51 Diperbarui: 29 September 2019   15:04 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tentu kita sudah mafhum, anak-anak dengan kepolosannya, akan sering bertanya tentang banyak hal, baik yang berhubungan dengan masalah faktual hingga berupa narasi fiktif. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini, bagi mereka, merupakan ekspresi dari rasa ingin tahu dan menyibak keraguannya tentang dunia yang baru dikenalnya, sehingga mereka terdorong untuk mengajukan pertanyaan. 

Hal ini merupakan kebutuhan psikis alamiah yang dinamakan dengan istilah "cinta meneliti"  dan merupakan salah satu essensi kecerdasan anak. Dimulai ketika mereka menuju pada panguasaan bahasa dan motorik serta kemandirian, yaitu pada masa tatih (di atas 18 bulan). Pada masa ini anak-anak mulai mengenal bahasa dan tertarik untuk mempelajarinya.  

Dalam tahapan tersebut, orang tua sangat berperan penting dalam menumbuh-kembangkan budaya literat anak. Pun, perhatian, kasih sayang dan teladan yang diberikan secara langsung oleh orang tua dimasa-masa golden age tentunya akan membekas dan diingat anak sepanjang hayatnya. 

Berangkat dari asumsi bahwa "ayah bunda adalah guru pertama bagi anak-anak", merancang program literasi keluarga menjadi ranah strategi yang paling efektif untuk meningkatkan keterlibatan orang tua dalam pengembangan literasi anak. Pun, penciptaan lingkungan literasi keluarga termasuk ketersediaan bahan bacaan di rumah akan memungkinkan anak lebih berkembang prestasi akademiknya. 

Sebagai patron literasi keluarga, Ayah dan ibu dalam hal ini tidak sekadar memerintah anak-anaknya untuk berliterasi, tetapi wajib memberi contoh, misalnya dengan mendongeng dalam waktu-waktu tertentu sehingga dapat memantik kepenasaranan anak-anak untuk membaca lengkap pada bukunya. Apalagi jika dongeng tersebut dibacakan pada saat anak-anak sebelum tidur. 

Mendongeng pada fase alpha teta (antara sadar dan sebelum terlelap tidur) dapat menyimpan pesan dan hikmah dari cerita, terbenam dalam ingatan hingga mereka dewasa, sehingga petuah-petuah dalam cerita akan ia ingat sepanjang hayat. Pesan-pesan tersebut diharapkan dapat menjadi perilaku baik dalam kehidupan nyata mereka. 

Permasalahan utama yang menyebabkan orang tua kurang terlibat dalam pendidikan literasi dewasa ini adalah, orangt tua belum menyadari bahwa Pendidikan literasi dirumah memiliki hubungan dengan prestasi di sekolah. Begitupula halnya dengan cerita yang dibacakan oleh orangtua dirumah, memiliki keterkaitan secara tidak langsung dengan nilai-nilai pada diri anak. 

Dilain sisi, gempuran teknologi smartphone berbasis sistem android yang begitu deras nampaknya mengalihkan budaya masyarakat ke pasca literasi. Padahal Indonesia belum masuk budaya literasi sepenuhnya. Namun, sepertinya meloncati dari budaya praliterasi langsung ke pascaliterasi seperti yang terjadi saat ini. 

Ketergantungan anak-anak pada gawai yang nampaknya tidak terelakkan saat ini menunjukkan bukti bahwa anak-anak sekarang (yang belum memiliki budaya literasi) "telah meloncat" ke era budaya digital. Era yang kelihatannya modern dengan lebih banyak melihat dan mendengar, tetapi tanpa budaya membaca sebenarnya mereka tetap tidak beranjak modern. 

Unesco telah melakukan survei tingkat minat baca anak dengan melihat jumlah bacaan buku referensi (bukan buku paket sekolah) di seluruh negara di dunia. Faktanya, berdasarkan hasil survei tersebut, tingkat membaca anak Indonesia ternyata masih sangat rendah. Anak-anak Indonesia hanya mambaca 27 halaman buku per-tahun, dengan kata lain, anak-anak usia sekolah di Indonesia hanya mampu membaca satu halaman buku selama 15 hari. 

Lemahnya budaya literasi generasi jaman now, Taufik Ismail menganalogikan sebagai ''Generasi nol buku'' generasi yang lemah secara literasi, tidak punya referensi, dan enggan bergumul dengan bacaan. Kasarnya dapat dikatakan, "Rabun membaca, pincang mengarang." Rabun karena tidak akrab dengan bacaan-bacaan. Selain itu, pincang membuat karangan-karangan, karena tak terbiasa mengarang dan tak punya referensinya. 

Generasi nol buku akan melahirkan generasi nol gagasan. Generasi nol gagasan akan berakibat lahirnya generasi nol inisiatif. Generasi nol inisiatif akan menyebabkan tumbuh suburnya generasi nol kepedulian. Pada akhirnya, generasi nol buku akan menghentikan laju peradaban karena menulis adalah mengukir peradaban dan membaca adalah merawat atau menghidupkan peradaban itu sendiri. 

Maka, dengan sendirinya peradaban kita akan pincang jika generasi muda tidak gemar membaca. Kemiskinan literasi sama dengan kemiskinan pendidikan, kemiskinan akses, kemiskinan politik, dan kemiskinan tekhnologi. 

Begitu pentingnya membaca dalam dunia pendidikan, sekolah Belanda tempo dulu juga mewajibkan muridnya membaca 25 judul buku hingga lulus. Dampaknya dapat kita lihat pada tokoh-tokoh pendiri bangsa yang pernah "mencicipi" sistem pendidikan sekolah Belanda dulu. Mereka memiliki kekuatan intelektual yang baik seperti tertuang dalam berbagai karya tulisnya. 

Menumbuhkan cinta membaca menjadi tantangan besar bagi masyarakat Indonesia abad ini jika kita bercermin pada berita tragedi nol buku anak Indonesia. Anak yang terbiasa dengan budaya membaca dan menulis (literasi) dalam keluarga maka ia akan membawa kebiasaan tersebut sampai kapan pun, karena contoh dan keteladan yang utama bagi anak adalah keluarga. 

Keluarga adalah  surga, tempat yang terbaik untuk menumbuhkan minat membaca dan menulis bagi anak (literasi emergen). Hal ini di karenakan situasi dalam keluarga yang nyaman, aman, hangat dan menyenangkan yang dapat memicu pertumbuhan literasi bagi anak dengan cepat dan subur. 

Sebagaimana banyak fakta terungkap, bahwa tak sedikit anak dari berbagai kalangan termasuk dari keluarga kurang mampu, mereka dapat lebih berprestasi dari teman-teman sebayanya yang lebih berkecukupan secara materi, terlepas dari apa pun latar belakang keluarga mereka. Tak lain karena mereka secara teratur membaca buku-buku, surat kabar, dan bacaan lain di luar sekolah. 

Dari sebuah penelitian di Amerika Serikat, diketahui bahwa 1.200 orang yang kini meraih sukses memiliki satu hobi yang sama, yaitu membaca. Bahkan kabarnya, orang-orang terkaya dunia juga mengaku, salah satu kunci kesuksesan mereka adalah dengan membaca. Salah satunya Bill Gates yang tidak pernah menyelesaikan kuliah, tapi mampu membangun Microsoft hanya dengan banyak membaca. "Di kantor, di rumah, maupun di jalan, aku selalu memiliki sekumpulan buku yang akan aku baca'', kata Gates yang mengaku membaca 50 buku setiap tahunnya. 

Sementara itu, miliarder Warren Buffet bahkan menyatakan, ia selalu membaca lebih dari lima ratus hingga seribu halaman per hari, serta lebih suka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk 'bersembunyi' di ruang kantornya untuk membaca. 

Sejauh ini pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk mensosialisasikan GLN -Gerakan Literasi Keluarga- antara lain kemendikbud melalui direktorat pembinaan pendidikan keluarga meluncurkan website sahabat keluarga dan majalah Pendidikan keluarga yang bertujuan untuk berbagi praktik baik yang berkaitan dengan pendidikan di lingkungan keluarga dan kaitannya dengan satuan pendidikan. 

Baru-baru ini, kemendikbud meluncurkan kampanye #Gernasbaku yang merupakan singkatan dari Gerakan Nasional Membaca Buku dimana orangtua diajak untuk membacakan buku bagi anak. Program ini diharapkan dapat menjadi momentum bagi keterlibatan orangtua dalam pendidikan anaknya. Upaya lainnya adalah pemerintah mengeluarkan buku saku Gerakan Literasi Nasional yang berusaha menjelaskan berbagai jenis kemampuan literasi yang dibutuhkan peserta didik. 

Yang harus dipahami, bahwa mendidik anak membaca bukanlah proses yang singkat dan bisa selesai dalam hitungan jam atau hari. Mendidik anak berlitersi bukan hanya mengajari anak kenal huruf dan bisa membaca ''ini ibu Budi''. Mendidik anak membaca adalah mengenalkan mereka pada buku dan luasnya informasi yang dapat mereka peroleh dari buku. 

Untuk itu orang tua tidak perlu panik, jika merasa anaknya terlambat membaca, kurang pintar dan sebagainya. Cukup dampingi anak dengan penuh kasih dan berikan contoh, bahwa kita pun suka membaca. Pun, literasi bukan berarti anak harus membaca semua jenis buku bacaan, namun dapat dimulai membaca buku yang berkaitan dengan hobinya. Misalkan, jika anak menyukai tentang musik, anak dapat dibelikan buku bacaan yang berkaitan dengan musik, atau jika mereka menyukai sains, anak dapat membaca buku yang menyediakan langkah-langkah melakukan eksperimen sederhana. Di era digital orang tua dapat mengemas kegiatan literasi melalui teknologi yang disesuaikan dengan usia anak. 

Hari Literasi Internasional yang dirayakan setiap tanggal 8 September ditetapkan oleh UNESCO menjadi momen untuk merayakan dan merefleksikan kembali progam-program berkaitan dengan pengembangan literasi sebagai bagian penting dari pembelajaran sepanjang hayat yang terdapat dalam Agenda Pendidikan 2030.  

Sebagaimana Tahun 2017 lalu, UNESCO mengambil tema 'Literacy in a digital world' untuk merespons kebutuhan literasi di zaman serba digital saat ini. Dari tema ini, dapat kita lihat bagaimana dunia internasional melihat pentingnya untuk menggali strategi pengembangan kompetensi literasi yang mempertimbangkan pergeseran media informasi dari cetak/luring (offline) ke digital/daring (online). 

Kompetensi literasi digital dan media ini sejalan dengan kurikulum 2013 yang menekankan kepada integrasi berbagai jenis media dalam pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik.  Oleh karena itu, sangat penting ketika berbicara mengenai isu literasi untuk melihatnya dalam konteks dunia global dan digital (globalised dan digitalised world) yang dinamis dan tanpa batas. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun