Begitupun dengan negara maju seperti di Jepang dan Eropa, dimana umur petani mencapai rata-rata 65 tahun. Sedangkan di negara-negara Afrika, walaupun sekitar 65% pemudanya tinggal di daerah pedesaan namun mereka tidak tertarik bekerja di sektor pertanian.
Krisis regenerasi yang mengancam ketahanan dan kedaulatan pangan bukan satu-satunya masalah yang menyebabkan sektor pertanian menjadi asing bagi generasi jaman now. Di saat yang bersamaan, petani kita masih harus dihadapkan pada masalah konflik agraria.Â
Setengah abad lebih Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) diluncurkan dengan semangat menciptakan keadilan sosial di sektor agraris. Nyatanya, situasi agraria nasional dewasa ini belum sepenuhnya lepas dari feodalisme, kolonialisme, dan kapitalisme.
Pada peringatan HTN tahun 2017 lalu, aliansi puluhan serikat petani dan LSM bidang lingkungan hidup mengetengahkan tema Indonesia Darurat Agraria. Mereka menuntut pemerintah melaksanakan reformasi agraria sejati berlandaskan TAP MPR No IX/2001, UUPA 1960, dan UUD 1945. Ini sebagai pondasi dasar pengelolaan kekayaan agraria nasional yang berkeadilan dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), monopoli kekayaan agraria terjadi hampir di semua sektor kehidupan rakyat. Dari seluruh wilayah darat Indonesia, 71 persen dikuasai korporasi kehutanan. Kemudian, 16 persen korporasi perkebunan, 7 persen para konlomerat. Sisanya baru rakyat kecil, 4 persen wilayah darat.
Di tengah mandek dan biasnya pelaksanaan reforma agraria, perampasan dan kriminalisasi petani justru kian marak. Tahun 2015 hingga 2016, telah terjadi 702 konflik agraria yang mengorbankan 195.459 KK petani. Jika dibagi dengan jumlah hari per tahuan, maka tiap hari ada petani yang dihadapkan dengan perebutan lahan (KPA, 2015 dan 2016).Â
Dalam rentang waktu tersebut, KPA juga mencatat 455 petani dikriminalisasi atau ditahan, 229 mengalami kekerasan, dan 18 tewas di medan konflik agraria. Sedangkan reformasi agraria  masih jalan di tempat.
Tak sampai disitu, dibanding Upah nominal harian buruh bangunan, upah nominal harian buruh tani nasional masih jauh di bawah rata-rata kebutuhan hidup layak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, upah nominal harian buruh tani nasional Agustus 2017 naik sebesar 0,15 persen dari Juli 2017, namun masih sekitar 50.000 sehari. Â
Ironisnya, kenaikan upah nominal buruh tani (yang juga masih dinilai rendah) diperparah dengan menurunnya upah riil buruh tani dari hari ke hari. Hal ini telah memperparah kemiskinan di desa yang selama ini tertutupi terutama dari rasio gini berlandaskan konsumsi masyarakat. Kemiskinan petani di desa tersebut telah menggeser masyarakat petani yang tidak berdaya untuk terdorong pergi ke kota untuk mencukupi kehidupannya yang tidak terpenuhi bila hanya mengandalkan sektor pertanian semata yang selama ini tidak mendatangkan kesejahteraan baginya.Â