Beberapa saat setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 5 Oktober 2020 menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja yang disampaikan atau diajukan pemerintah, “draft akhir” RUU itu pun dengan cepat beredar di dunia maya walaupun tidak diketahui dengan pasti apakah draft tersebut merupakan draft final, belum final, ataukah draft final yang masih perlu dirapikan.
Tidak lama setelah draft tersebut beredar, beberapa penyidik pajak pun menyampaikan beberapa pandangannya dan mengajak berdiskusi dengan penulis mengenai beberapa ketentuan perpajakan yang diatur dalam (R)UU Cipta Kerja khususnya menyangkut ketentuan dalam Bab Pidana, baik yang mengubah, tidak mengubah, mencabut, tidak menambahkan, atau tidak mengurangkan ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (Undang-Undang KUP).
Dalam hari yang sama, mantan Direktur Penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini merupakan pejabat penting di institusi Kejaksaan, juga sempat mendiskusikan dengan penulis mengenai rumusan ketentuan pidana dalam (R)UU Cipta Kerja khususnya mengenai ketentuan yang diatur dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP.
Menarik sekali memang berbicara tentang pidana pajak, apalagi dengan berbagai dinamika dan fenomena yang melingkupinya ditambah lagi dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan yang mengatur pidana pajak secara spesial dan bersifat spesial antara lain yang mengatur mengenai sanksi pidana pajak yang dapat ‘diganti’ atau diselesaikan dengan pembayaran pajak yang terutang dalam jumlah tertentu beserta sanksi administrasinya.
Di samping itu, isyu antara lain mengenai mens rea, mala inse/malum in se (sering disebut mala perse) dan mala prohibita, indubio proreo, geen straft zonder schuld dalam konteks Pasal 39A Undang-Undang KUP, eendaadsche samenloop dan meerdadsche samenloop, ultimum remedium dan primum remedium dalam pidana pajak, lama dan besaran sanksi pidana pajak, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, kewenangan pemeriksa bukti permulaan dan kewenangan penyidik pajak, dan justice collaborative/collaborator; merupakan topik spesial yang sangat menarik untuk menjadi suatu diskursus.
Namun demikian dalam kesempatan ini mengingat begitu terbatasnya space untuk membahas ketentuan pidana pajak dalam UU Perpajakan maka dalam artikel ini penulis hanya menyajikan hal-hal fundamental terkait dengan pidana pajak, yaitu mengenai kriminologi (perpajakan), yaitu ilmu yang mempelajari tentang tindak pidana (di bidang perpajakan), khususnya terkait dengan makna Kriminalisasi, Dekriminalisasi, Penalisasi dan Depenalisasi dalam Undang-Undang Pajak Baru, yaitu Undang-Undang Pajak 2020.
Kita seringkali mendengar istilah kriminologi di berbagai media, baik itu media cetak maupun media elektronik, bahkan dalam berbagai pertemuan ilmiah termasuk seminar, diklat, simposium, dialog, lokakarya dan kegiatan lainnya yang sejenis yang mengartikan kriminalisasi sebagai suatu perbuatan yang dilakukan seseorang baik sendirian maupun beberapa orang yang menurut hukum atau perundang-undangan bukan merupakan suatu perbuatan pidana, tetapi oleh penegak hukum diproses sebagai perbuatan pidana.
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah kriminalisasi sempat begitu popular kita temui di berbagai media ketika antara lain pimpinan KPK Abraham Samad, Bambang Widjoyanto, Bibit dan Chandra ditetapkan sebagai tersangka. Demikian halnya ketika Fredrich Yunadi & Bimanesh (kasus Setya Novanto) ditetapkan sebagai tersangka, termasuk juga Eggi Sudjana. Tentu masih banyak peristiwa lain yang mengakibatkan peristiwa tersebut dikatakan sebagai tindakan kriminalisasi.
Bahkan ketika petugas pajak melaksanakan tugas perundang-undangan seperti pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan atau penagihan pajak, sempat juga dilaporkan kepada penegak hukum dan ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini pun kemudian juga dikatakan telah terjadi kriminalisasi terhadap petugas pajak.
Berdasarkan fenomena tersebut pada hemat kami perlu kiranya kita memahami apa yang dimaksud dengan pengertian kriminalisasi dalam konteks ilmu pengetahuan, khususnya makna kriminalisasi sebagaimana dimaksud dalam kriminologi. Kriminologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejahatan atau tindakan kriminal (berasal dari kata crimen (bahasa latin) yang artinya kejahatan dan logos (bahasa Yunani) yang artinya ilmu). Jadi, pengertian atau makna kriminalisasi tidaklah seperti yang dideskripsikan atau diuraikan seperti peristiwa di atas.
Dalam kamus Black’ Law Dictionary, criminalization diartikan sebagai the act or the instance of making previously lawful act criminal, usually by passing a statute (Bryan Garner, 2004:402). Sementara dalam Webster New World Law Dictionary, criminalization diartikan dengan to make a particular conduct or omission a crime and to establish penal sanction for it (Susan Ellis Wild, 2006:114).
Beberapa ahli pidana dan kriminologi di Indonesia diantaranya Prof Sudarto, Prof Mulyatno, Prof Dr Soerjono Soekanto, Prof Dr Muladi, Prof Soetandyo Wignyosubroto, Prof Dr Barda Nawawie Arief, Prof Dr Paulus Hadisuprapto Prof, Dr Adrianus Eliasta Meliala, dan Dr Jenti Garnasih pun telah memberikan makna atau pengertian mengenai apakah yang dimaksud dengan kriminalisasi. Namun demikian untuk memberikan pemahaman kepada pembaca agar lebih efisien dan mudah memahami makna kriminalisasi maka penulis dalam artikel ini perlu merumuskannya dalam definisi atau terminologi yang lebih sederhana dengan menyarikan pandangan para pakar tersebut.
Kriminalisasi adalah suatu perbuatan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan lama atau sebelumnya tidak dikategorikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum, baik itu pelanggaran pidana atau pelanggaran administrasi, atau pelanggaran lainnya; atau dengan kata lain perbuatan tersebut boleh-boleh saja dilakukan, tetapi berdasarkan Undang-Undang baru perbuatan tersebut dikategorikan atau merupakan suatu perbuatan pidana.
Contoh nyata Kriminalisasi dalam Undang-Undang Perpajakan adalah ketentuan dalam Pasal 41C ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang mengatur mengenai pidana bagi Instansi, Lembaga, Asosiasi dan Pihak lainnya terkait dengan pelaksanaan kewajiban penyampaian data dan informasi perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 35A Undang-Undang KUP.
Sebelum adanya ketentuan tersebut, Instansi, Lembaga, Asosiasi dan Pihak lainnya (ILAP) bebas atau boleh-boleh saja memberikan atau tidak memberikan data dan informasi perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan sama sekali tidak ada konsekuensi hukum, baik itu konsekuensi atau sanksi yang bersifat administratif, perdata maupun pidana.
Namun demikian sejak berlakunya Undang-Undang KUP 2007 mulai 1 Januari 2008, setiap Instansi, Lembaga, Asosiasi dan Pihak lainnya (ILAP) wajib memberikan data dan informasi perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan apabila tidak melaksanakan kewajiban tersebut diancam pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak Rp1 Miliar.
Karena berdasarkan Undang-Undang (KUP) sebelumnya, ILAP boleh-boleh saja tidak menyampaikan data dan informasi perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan tidak dikenai sanksi apapun. Sementara berdasarkan Undang-Undang KUP 2007, ILAP wajib menyampaian data dan informasi perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan jika tidak melaksanakan kewajiban tersebut dikenai sanksi pidana. Dalam perspektif kriminologi, ketentuan tersebut merupakan ketentuan yang bersifat Kriminalisasi.
Mungkin selanjutnya timbul atau terdapat suatu pertanyaan, apakah selama ini sudah ada (pejabat) instansi, lembaga, asosiasi dan pihak lainnya yang tidak melaksanakan kewajiban menyampaikan data dan atau informasi perpajakan dan dipidana? Bisa saja sampai saat ini terdapat beberapa atau bahkan semua ILAP yang Tidak menyampaikan data dan informasi perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak tidak diproses pidananya.
Pada hemat kami hal ini merupakan permasalahan penerapan hukum (law implementation), yaitu terjadinya kesenjangan antara law in book dan law in action dan bukan berarti tidak terjadi kriminalisasi dalam UU KUP 2007. Sebagaimana dikemukakan Chambliss dan Seidmann, bahwa hukum sejak direncanakan, dibahas, berlaku dan diimplementasikan dalam masyarakat selalu dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan yang ada di sekitarnya, termasuk tentunya sosial budaya.
Selain istilah Kriminalisasi, dalam kriminologi terdapat istilah Dekriminalisasi, yaitu suatu perbuatan yang berdasarkan UU lama atau UU sebelumnya perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan pidana, tetapi berdasarkan Undang-Undang baru perbuatan tersebut bukan merupakan suatu perbuatan pidana dan juga bukan termasuk perbuatan pelanggaran lainnya. Jadi perbuatan tersebut menjadi boleh-boleh saja dilaksanakan atau tidak dilaksanakan dan sama sekali tidak ada sanksi jika melakukannya.
Misalnya jika berdasarkan Undang-Undang (KUP) berikutnya, ketentuan dalam Pasal 41C dicabut apalagi pasal 35A juga dicabut, maka ILAP bebas dan boleh saja tidak menyampaikan data dan informasi perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Tidak ada konsekuensi hukum atau sanksi apapun jika ILAP tidak menyampaikan data dan informasi perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Itulah makna Dekriminalisasi.
Selain Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, dalam kriminologi juga mengajarkan tentang Penalisasi, yaitu suatu perbuatan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelumnya atau lama, (pelanggaran atas) suatu perbuatan dikenai sanksi administrasi atau perdata (non pidana), tetapi berdasarkan Undang-Undang baru perbuatan tersebut dikategorikan atau dikenai sanksi pidana.
Misalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang KUP yang saat ini berlaku, jika Wajib Pajak terlambat melunasi utang pajak Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) maka dikenai sanksi administrasi berupa bunga untuk setiap bulannya. Jika sanksi tersebut berdasarkan Undang-Undang (KUP) baru diatur bahwa bagi Wajib Pajak atau penangggung pajak yang tidak atau terlambat melunasi utang pajaknya sesuai Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) Undang-Undang KUP dikenai sanksi pidana, maka hal itu dinamakan dengan Penalisasi.
Selanjutnya, dalam kriminologi juga terdapat suatu istilah yang dinamakan Depenalisasi, yaitu suatu perbuatan yang berdasarkan Undang-Undang sebelumnya atau lama, (pelanggaran atas) suatu perbuatan dikenai sanksi pidana, tetapi berdasarkan peraturan perundang-undangan baru atas pelanggaran suatu perbuatan tersebut dikenai sanksi non pidana (administrasi atau perdata).
Misalnya Wajib Pajak badan yang tidak menyelenggarakan pembukuan terkait dengan kewajiban perpajakannya sehingga merugikan pada pendapatan Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang KUP pada saat ini merupakan perbuatan pidana. Namun jika berdasarkan Undang-Undang KUP berikutnya perbuatan tersebut tidak lagi dikenai sanksi pidana tetapi hanya dikenai sanksi administrasi, maka perbuatan tersebut merupakan atau termasuk dalam kategori Depenalisasi.
Kembali dengan bahasan tentang Kriminalisasi sebagaimana topik atau judul artikel ini. Pada hemat kami pemaknaan kriminalisasi sebagai suatu perbuatan yang dilakukan seseorang baik sendirian maupun beberapa orang atau subjek hukum lainnya yang menurut hukum atau perundang-undangan bukan merupakan suatu perbuatan pidana, tetapi oleh penegak hukum diproses sebagai perbuatan pidana, dalam kehidupan sehari-hari hal itu sejalan dengan fenomena yang terjadi dengan pemaknaan antara lain terhadap nama merek dagang antara lain seperti odol, honda dan aqua.
Odol adalah nama pasta gigi yang berasal dari Jerman dan sangat popular sejak era penjajahan Belanda di Indonesia sampai akhir 1980-an. Tidak jarang diantara kita jika mau beli pasta gigi, selalu sering mengatakan ‘mau beli odol pepsodent, close up, sensodyne, formula, enzim….”, padahal odol merupakan salah satu nama pasta gigi sama halnya seperti pepsodent, close up, sensodyne, formula, enzim dan yang lainnya.
Demikian halnya dalam era tertentu di daerah tertentu, ketika seseorang menyebut sepeda motor dengan sebutan Honda. “Saya kemarin naik Honda ke Puncak”, padahal dia naik sepeda motor Yamaha. Bahkan saat ini pun di daerah tertentu kita kadang-kadang masih menemukan suatu fenomena demikian, “Kemarin dia beli Honda merek Suzuki.”
Untuk produk air mineral pun fenomenanya demikian. “Saya tadi minum aqua satu botol”, padahal yang bersangkutan minum air mineral bermerek nestle, vit, ok oce, le minerale, aquaria, blue, atau yang lain. Dan kita pun mendapati hal yang umum jika di rumah makan, seseorang pesan air mineral satu botol kemasan dengan mengatakan ‘pesan aqua’ tetapi yang datang adalah merek lain. Pemesan air mineral tersebut pun tidak mempermasalahkan karena maksud dia adalah pesan air mineral apapun mereknya walaupun ia mengatakannya dengan sebutan aqua.
Penulis ketika menjadi wartawan Jawa Pos Group sekitar seperempat abad atau 25 tahun lalu pun punya pengalaman yang unik. Suatu ketika teman penulis yang menjadi wartawan Surya Surabaya, Farchan, mendapatkan tugas peliputan di suatu daerah, taruhlah daerah M. Dia bertanya kepada penulis, “Arif kemarin ikut peliputan ke M?”. Kujawab, “Tidak ikut!”.
Farchan pun bercerita, “Saya kemarin ke M punya pengalaman spesial. Saya ditanya, kerja dimana mas? Ya, saya jawab menjadi wartawan Surya Surabaya”. Begitu Farchan menjawab seperti itu, seseorang yang berasal dari daerah M itu pun berujar, “Mas, sekarang Jawa Pos banyak sekali ya? Ada Jawa Pos Kompas, Jawa Pos Surya, Jawa Pos Karya Dharma, Jawa Pos Memorandum, dan masih banyak yang lain!”.
Jadi, jika selama ini kita memahami makna kriminalisasi sebagai suatu perbuatan seseorang atau subjek hukum lainnya yang berdasarkan Undang-Undang bukan merupakan suatu perbuatan pidana tetapi oleh penegak hukum diproses pidana, hal ini sama halnya atau tidak ada bedanya dengan kekeliruan pemahaman makna seperti memahami nama atau merek dagang odol, honda, aqua bahkan Jawa Pos dalam konteks masyarakat tertentu dan era tertentu seperti dicontohkan diatas.
Oleh karena itu, setelah kita memahami makna Kriminalisasi, perlu kiranya kita mengembalikan atau memberikan makna kriminalisasi dengan benar sesuai pemahaman akademik ilmiah, yaitu suatu perbuatan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan lama atau sebelumnya tidak dikategorikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum, baik itu pelanggaran pidana, pelanggaran administrasi atau pelanggaran lainnya, atau dengan kata lain perbuatan tersebut boleh-boleh saja dilakukan, tetapi berdasarkan Undang-Undang baru, perbuatan tersebut dikategorikan atau merupakan suatu perbuatan pidana.
Pemahaman makna Kriminalisasi bagi sebagian kalangan yang selama ini tidak sejalan dengan makna kriminalisasi sebagai mana dimaksud dalam kriminologi, pada hemat kami merupakan fenomena yang wajar apalagi makna tersebut kadang-kadang dikemukakan oleh pihak yang mempunyai nilai “news” jurnalistik yang tinggi atau yang mempunyai otoritas tertentu. Namun demikian juga menjadi kewajiban kita bersama untuk mulai meluruskan makna kriminalisasi dengan benar sesuai dengan makna yang terdapat dalam kriminologi.
Dalam perkembangan sejarah ilmu pengetahuan pun keadaan yang demikian pernah bahkan seringkali terjadi dan sempat menimbulkan inkuisisi (apa yang terjadi dengan Socrates, Giordano Bruno, Galilea Galilei, Copernicus dan lainnya-tidak sejaman). Misalnya dalam abad kegelapan, teori Geosentrisme yang memandang bahwa bumi sebagai pusat tata surya merupakan teori yang dianggap benar oleh penguasa sebelum akhirnya diluruskan dengan teori Heliosentrisme bahwa matahari sebagai pusat tata surya. Diterimanya Heliosentrisme sebagai teori atau ilmu pengetahuan yang benar pun setelah melalui perjuangan panjang dan memilukan.
UU PAJAK 2020
Seagaimana kita ketahui bersama dalam tahun 2020 ini telah lahir 3 (tiga) Undang-Undang yang mengatur tentang pajak, yaitu pertama, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 yang antara lain mengatur mengenai beberapa perubahan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang KUP, Undang-Undang PPN dan Undang-Undang Pajak Pajak Penghasilan.
Kedua, Undang-Undang Nomor Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang antara lain juga mengatur mengenai beberapa perubahan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang KUP, Undang-Undang PPN, dan Undang-Undang Pajak Penghasilan. Ketiga, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Bea Meterai yang menggantikan dan sekaligus mencabut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
Jika kita cermati bersama, kita tentu mempunyai pandangan yang sama mengenai ketiga bangunan Undang-Undang tersebut. Perubahan Undang-Undang KUP, perubahan Undang-Undang PPN dan perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan, baik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 maupun dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, tidak berada atau diatur dalam bangunan Undang-Undang Perpajakan atau dengan kata lain tidak berada di “Rumah Kita”.
Sementara jika kita mencermati bangunan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Bea Meterai, kita dapat dengan mudah mengambil kesimpulan bahwa bangunan Undang-Undang Meterai ini berbeda bahkan berbanding terbalik dengan bangunan kedua Undang-Undang diatas. Jika Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 maupun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, tidak diatur dalam Undang-Undang Perpajakan atau tidak berada di “Rumah Kita”, maka Undang-Undang Nomor 10 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai konsisten diatur dalam Undang-Undang Perpajakan atau tetap berada di “Rumah Kita”.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 maupun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, yang antara lain juga mengatur mengenai beberapa perubahan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang KUP, Undang-Undang PPN, dan Undang-Undang Pajak Penghasilan, hal ini tentu menimbulkan diskursus baru terkait dengan prinsip hukum pajak yang selama ini kita pegang erat dan teguh, yaitu ‘Ketentuan Perpajakan Harus Diatur Dalam Rezim (Perundang-Undangan) Perpajakan’.
Kita kembali dalam diskursus tentang kriminalisasi yang terdapat dalam ketiga Undang-Undang Pajak Tahun 2020. Pada hemat kami, untuk menguji apakah masing-masing Undang-Undang Perpajakan yang diundangkan pada tahun 2020 mengalami kriminalisasi atau tidak mengalami kriminalisasi, sangatlah sederhana. Bagaimanakah caranya?
Pertama, dilakukan dengan cara mengecek atau meneliti apakah dalam Undang-Undang perubahan tersebut terdapat ketentuan yang mengatur tentang pidana. Kedua, jika dalam ketentuan perubahan ketentuan perpajakan tersebut terdapat ketentuan yang mengatur tentang pidana, apakah ketentuan pidana tersebut telah diatur dalam Undang-Undang (apapun Undang-Undangnya) sebelumnya.
Jika belum diatur dalam Undang-Undang sebelumnya dan baru diatur dalam Undang-Undang Pajak tahun 2020, maka ketentuan pidana dalam Undang-Undang baru tersebut merupakan atau termasuk dalam kategori kriminalisasi. Demikian pula sebaliknya jika ketentuan pidana tersebut sebelumnya telah diatur dalam suatu Undang-Undang termasuk bukan Undang-Undang di bidang perpajakan maka pengaturan tersebut tidak atau bukan merupakan pengertian kriminalisasi.
Apabila kita menyisir ketentuan pajak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 (Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2020), khususnya dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8, kita sama sekali tidak menemukan satu ketentuan pun yang megatur tentang sanksi pidana. Jadi dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 ini dapat dipastikan bahwa tidak terdapat satupun ketentuan pajak yang mengalami kriminalisasi, baik itu yang terdapat dalam Undang-Undang KUP, Undang-Undang PPN maupun Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Berbeda dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, jika kita menyisir ketentuan pajak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yaitu dalam Pasal 111, Pasal 112, dan Pasal 113, kita dapat menemukan ketentuan pidana atau yang terkait dengan pidana pajak, khususnya ketentuan dalam Pasal 113 yang mengatur beberapa perubahan ketentuan Undang-Undang KUP.
Ketentuan pidana atau yang terkait dengan pidana dalam Pasal 113 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, pada hemat adalah ketentuan perubahan Pasal 8 ayat (3), Pasal 44B, dan Pasal 38 Undang-Undang KUP. Untuk perubahan Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 44B Undang-Undang KUP tetap tidak mengatur mengenai perbuatan atau tindak pidana (delik) yang dilakukan. Kedua ketentuan tersebut tetap hanya mengatur mengenai besaran sanksi administrasi jika perbuatan pidana tidak diproses lebih lanjut, yaitu besaran sanksinya masing-masing menjadi lebih kecil. Oleh karena itu kedua ketentuan tersebut pun tidak termasuk dalam kategori Kriminalisasi.
Bagaimana dengan perubahan ketentuan Pasal 38 Undang-Undang KUP? Perubahan ketentuan tersebut yang dilakukan melalui Undang-Undang Cipta Kerja tentu sangat menarik untuk dibahas dalam perspektif kriminologi karena ketentuan Pasal 38 tersebut dalam perspektif pemidanaan kembali sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KUP sebelum tahun 2007.
Mengapa? Karena dalam Undang-Undang Cipta Kerja tersebut ketentuan Pasal 38 Undang-Undang KUP diubah menjadi bahwa setiap orang yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan (melampirkan keterangan) yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara dikenai sanksi pidana. Hal itu berlaku baik untuk perbuatan yang pertama kali atau yang setelahnya.
Mengingat dalam Pasal 38 Undang-Undang KUP tahun 2007 diatur bahwa jika perbuatan diatas dilakukan untuk yang pertama kali sanksinya adalah sanksi administrasi, sementara dalam Undang-Undang Cipta Kerja walau untuk perbuatan yang pertama kali langsung dikenai sanksi pidana, maka perubahan Pasal 38 Undang-Undang KUP melalui Undang-Undang Cipta Kerja untuk perbuatan yang pertama kali tersebut merupakan Penalisasi, bukan Kriminalisasi. Karena berdasarkan Undang-Undang KUP 2007, perbuatan tersebut dikenai sanksi administrasi sementara berdasarkan Undang-Undang baru atau berikutnya, perbuatan tersebut dikenai sanksi pidana.
Kemudian untuk Undang-Undang 10 Tahun 2020 Tentang Bea Meterai, apakah termasuk Undang-Undang yang melakukan kriminalisasi mengingat terdapat beberapa ketentuan, yaitu dalam Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 mengatur mengenai ketentuan pidana, apalagi rumusan atau bunyi redaksional ketentuan pidana tersebut sangat berbeda dengan ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pada hemat kami cukup dengan menggunakan resep diatas, yaitu jika ketentuan pidana tersebut belum diatur dalam Undang-Undang sebelumnya dan baru diatur dalam Undang-Undang Pajak tahun 2020, maka ketentuan pidana dalam Undang-Undang Bea Meterai baru tersebut merupakan atau termasuk dalam kategori Kriminalisasi.
Namun jika ketentuan pidana tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 termasuk Undang-Undang lainnya (termasuk bukan Undang-Undang perpajakan) dan kembali diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 walaupun terdapat perbedaan dalam rumusan ketentuan dan besaran sanksi, maka pengaturan tersebut tidak termasuk dalam kategori atau pengertian Kriminalisasi.
Jika mendengarkan paparan salah satu anggota Tim Penyusunan RUU Bea Meterai dalam sosialisasi beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 10 tentang Bea Meterai tidak terdapat pengaturan tindak pidana baru atau tambahan tindak pidana baru, yang ada hanya perubahan rumusan dan penyesuaian sanksi pidana yang disesuaikan dengan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka ketentuan pidana dalam Undang-Undang Bea Meterai baru juga bukan termasuk dalam pengertian kriminalisasi.
PENUTUP
Menyusun peraturan perundang-undangan apalagi bentuknya Undang-Undang, pada hemat kami harus benar-benar mempertimbangkan ilmu hukum dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku umum. Pemahaman ilmu hukum secara interdisipliner, yaitu bahwa dalam menata peraturan perundang-undangan sangat diperlukan ilmu pengetahuan yang terkait juga harus menjadi paradigma bagi penyusun peraturan perundang-undangan.
Hal tersebut di atas menjadi sangat penting karena peraturan perundang-undangan yang disusun dapat menimbulkan trust dan distrust dalam masyarakat, baik itu dari sisi materi maupun dari sisi prinsip-prinsip hukum yang melekat padanya. Peraturan perundang-undangan yang disusun harus juga selalu membawa ruh konstitusi, antara lain mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itu, suatu peraturan perundang-undangan harus disusun secara matang dan dalam kajian yang mendalam apalagi jika bentuknya Undang-Undang.
Seorang intelektual muda Ditjen Pajak, Calvin Octo Pangaribuan mempunyai pandangan, “Jika dalam suatu perundang-undangan kita memisalkan seekor kambing dalam perundang-undangan ditulis anoa, maka jika ditanya itu binatang apa? Jawabnya dalam perspektif hukum haruslah dikatakan binatang itu namanya anoa, walaupun kita benar benar tahu jika binatang tersebut adalah kambing”. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum ‘presumptio iustae causa’ dan ‘vormoeden van rechtmatigheid’. Tentu kita tidaklah boleh demikian, kita harus menulis hewan itu adalah kambing jika memang kambing dan menulis kelinci jika memang kelinci.
Alhamdulillah kita telah menyusun dan mengundangkan 3 (tiga) Undang-Undang di tahun 2020. Bangunan Undang-Undang Bea Meterai telah ditata dengan apik dan memberi rasa teduh dan percaya bagi yang membaca, tentu yang utama bagi para stakeholder. Undang-Undang KUP, Undang-Undang PPN, dan Undang-Undang Pajak Penghasilan tentu harus bersiap mengikuti jejak Undang-Undang Bea Meterai agar menjadi bangunan yang apik, teduh dan menimbulkan kepercayaan bagi pembacanya, tentu utamanya juga bagi para stakeholder.
Bersyukur dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderak Pajak 2020-2024, kita mempunyai rencana untuk menyusun penggantian Undang - Undang KUP, Undang-Undang PPN, Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan. Agar Undang-Undang bisa disusun dengan apik dan berkualitas tinggi, pada hemat kami sebaiknya RUU keempat UU tersebut disiapkan sejak dini apalagi kita sudah mempunyai keempat RUU tersebut. Tentu dengan adanya berbagai dinamika, maka perlu disesuaikan dengan Undang-Undang Pajak 2020 serta perkembangan domestik dan internasional.
Pada hemat kami, penyusunan dan pematangan RUU bisa dilaksanakan pada tahun 2021, pembahasan dengan DPR dilaksanakan tahun 2022, dan Undang-Undang tersebut diberlakukan pada tahun 2023. Agenda sebaiknya disusun demikian agar penyusunan dan pembahasan RUU Pajak tersebut tidak terkendala atau terpengaruh dengan persiapan pemilihan Presiden dan anggota legislatif. Sementara dari sisi materi, penyusunan tersebut bisa lebih berkualitas dan netral dari berbagai kepentingan termasuk kepentingan politik.
*). Penulis Subarkah Center.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H