Berdasarkan fenomena tersebut pada hemat kami perlu kiranya kita memahami apa yang dimaksud dengan pengertian kriminalisasi dalam konteks ilmu pengetahuan, khususnya makna kriminalisasi sebagaimana dimaksud dalam kriminologi. Kriminologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejahatan atau tindakan kriminal (berasal dari kata crimen (bahasa latin) yang artinya kejahatan dan logos (bahasa Yunani) yang artinya ilmu). Jadi, pengertian atau makna kriminalisasi tidaklah seperti yang dideskripsikan atau diuraikan seperti peristiwa di atas.
Dalam kamus  Black’ Law Dictionary, criminalization diartikan sebagai the act or the instance of making previously lawful act criminal, usually by passing a statute (Bryan Garner, 2004:402). Sementara dalam Webster New World Law Dictionary, criminalization diartikan dengan to make a particular conduct or omission a crime and to establish penal sanction for it (Susan Ellis Wild, 2006:114).
Beberapa ahli pidana dan kriminologi di Indonesia diantaranya Prof Sudarto, Prof Mulyatno, Prof Dr Soerjono Soekanto, Prof Dr Muladi, Prof  Soetandyo Wignyosubroto, Prof Dr Barda Nawawie Arief, Prof Dr Paulus Hadisuprapto Prof, Dr Adrianus Eliasta Meliala, dan Dr Jenti Garnasih pun telah memberikan makna atau pengertian mengenai apakah yang dimaksud dengan kriminalisasi. Namun demikian untuk memberikan pemahaman kepada pembaca agar lebih efisien dan mudah memahami makna kriminalisasi maka penulis dalam artikel ini perlu merumuskannya dalam definisi atau terminologi yang lebih sederhana dengan menyarikan pandangan para pakar tersebut.
Kriminalisasi adalah suatu perbuatan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan lama atau sebelumnya tidak dikategorikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum, baik itu pelanggaran pidana atau pelanggaran administrasi, atau pelanggaran lainnya; atau dengan kata lain perbuatan tersebut boleh-boleh saja dilakukan, tetapi berdasarkan Undang-Undang baru perbuatan tersebut dikategorikan atau merupakan suatu perbuatan pidana.
Contoh nyata Kriminalisasi dalam Undang-Undang Perpajakan adalah ketentuan dalam Pasal 41C ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang mengatur mengenai pidana bagi Instansi, Lembaga, Asosiasi dan Pihak lainnya terkait dengan pelaksanaan kewajiban penyampaian data dan informasi perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 35A Undang-Undang KUP.
Sebelum adanya ketentuan tersebut, Instansi, Lembaga, Asosiasi dan Pihak lainnya (ILAP) bebas atau boleh-boleh saja memberikan atau tidak memberikan data dan informasi perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan sama sekali tidak ada konsekuensi hukum, baik itu konsekuensi atau sanksi yang bersifat administratif, perdata maupun pidana.
Namun demikian sejak berlakunya Undang-Undang KUP 2007 mulai 1 Januari 2008, setiap Instansi, Lembaga, Asosiasi dan Pihak lainnya (ILAP) wajib memberikan data dan informasi perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan apabila tidak melaksanakan kewajiban tersebut diancam pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak Rp1 Miliar.
Karena berdasarkan Undang-Undang (KUP) sebelumnya, ILAP boleh-boleh saja tidak menyampaikan data dan informasi perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan tidak dikenai sanksi apapun. Sementara berdasarkan Undang-Undang KUP 2007, ILAP wajib menyampaian data dan informasi perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan jika tidak melaksanakan kewajiban tersebut dikenai sanksi pidana. Dalam perspektif kriminologi, ketentuan tersebut merupakan ketentuan yang bersifat Kriminalisasi.
Mungkin selanjutnya timbul atau terdapat suatu pertanyaan, apakah selama ini sudah ada (pejabat) instansi, lembaga, asosiasi dan pihak lainnya yang tidak melaksanakan kewajiban menyampaikan data dan atau informasi perpajakan dan dipidana? Bisa saja sampai saat ini terdapat beberapa atau bahkan semua ILAP yang Tidak menyampaikan data dan informasi perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak tidak diproses pidananya.
Pada hemat kami hal ini merupakan permasalahan penerapan hukum (law implementation), yaitu terjadinya kesenjangan antara law in book dan law in action dan bukan berarti tidak terjadi kriminalisasi dalam UU KUP 2007. Sebagaimana dikemukakan Chambliss dan Seidmann, bahwa hukum sejak direncanakan, dibahas, berlaku dan diimplementasikan dalam masyarakat selalu dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan  yang ada di sekitarnya, termasuk tentunya sosial budaya.
Selain istilah Kriminalisasi, dalam kriminologi terdapat istilah Dekriminalisasi, yaitu suatu perbuatan yang berdasarkan UU lama atau UU sebelumnya perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan pidana, tetapi berdasarkan Undang-Undang baru perbuatan tersebut bukan merupakan suatu perbuatan pidana dan juga bukan termasuk perbuatan pelanggaran lainnya. Jadi perbuatan tersebut menjadi boleh-boleh saja dilaksanakan atau tidak dilaksanakan dan sama sekali tidak ada sanksi jika melakukannya.